Mamaku adalah sosok yang luar biasa.
Mama adalah wanita yang kuat, santai, dan penuh kasih sayang. Aku tidak tau apa yang terjadi, tapi dari cerita Mama, dia telah berjuang menghadapi berbagai masalah dan ketidakadilan dari pihak keluarga ayah kandungku.
Mama mengambil keputusan berat yang harus dia ambil—meninggalkan rumah itu di tengah malam, tanpa pamit, tanpa menoleh ke belakang.
Aku tidak ingat banyak tentang masa kecilku setelah itu, hari-hari yang kami lalui bersama setelah meninggalkan ayah kandungku. Mama bekerja keras di luar negeri, berbulan-bulan lamanya, demi membiayai hidupku. Selama itu, aku tinggal bersama keluarga Oma, ibunya Mama. Meski terpisah jarak, aku selalu bisa merasakan kasih sayangnya melalui telepon dan pesan-pesan yang Mama kirimkan.
"Gimana kabarnya, sayang? Mama kangen," ujarnya suatu kali melalui telepon, suaranya terdengar lelah namun tetap terdengar lembut dan penuh kasih sayang seperti pelukan hangat ibu yang tidak bisa aku rasakan selama Mama tidak ada di sampingku.
"Baik, Ma. Aku juga kangen Mama."
Setiap malam sebelum tidur, aku selalu menatap foto Mama yang kusimpan di samping tempat tidurku. Aku membayangkan dia sedang memelukku, membacakan dongeng pengantar tidur seperti yang sering dia lakukan dulu. Terkadang, aku menangis diam-diam, merindukan sentuhan tangannya yang lembut mengusap kepalaku.
Hidupku mulai berubah ketika Mama bertemu dengan pria yang kemudian menjadi ayah tiriku. Dia adalah sosok yang baik dan penyayang, yang dengan cepat aku anggap sebagai ayah kandungku sendiri. Papa, begitu aku memanggilnya, menyayangiku seperti anak kandungnya sendiri.
Aku masih ingat hari pertama bertemu Papa. Aku merasa gugup dan takut, tapi dia berlutut agar sejajar dengan tinggiku dan berkata dengan senyum hangat, "Halo, Jovan. Papa sangat senang akhirnya bisa bertemu denganmu."
Kata-kata itu, ditambah dengan pelukan hangatnya, langsung menjadi lem perekat untuk hubungan keluarga kita yang baru.
Keluarga kami pun bertambah. Adik perempuanku, Jian, lahir dan kini duduk di bangku kelas 3 SD. Dengan bertambahnya anggota keluarga, Papa memutuskan untuk membeli rumah baru untuk kami. Lalu menyusul adik laki-lakiku, Johan, yang masih berusia 2 tahun. Sementara Papa bekerja di luar negeri, Mama menetap di rumah untuk mengurus rumah dan anak-anak.
Aku masih ingat betapa bahagianya Mama saat Jian lahir. Mama sellau tersenyum setiap kali dia menggendong Jian, dan dia sering mengajakku untuk bermain bersama adik baruku.
Mamaku adalah ibu yang baik. Aku bersumpah mengatakan ini dengan sungguh-sungguh.
Namun, perlahan-lahan aku mulai menyadari perubahan pada diri Mama sejak Johan lahir.
Semua bermula ketika Johan didiagnosis dengan autisme. Tantrum dan berbagai masalah perilaku mulai muncul, dan Mama-lah yang harus menghadapinya setiap hari. Perlahan tapi pasti, aku melihat perubahan pada sikapnya. Mama yang dulu santai dan penyayang, kini berubah menjadi sosok yang mudah marah dan tidak sabaran.
Setiap kali Johan mengamuk, mamaku terlihat frustasi dan lelah. Semua luapan emosinya seolah tercurah padaku, si anak sulung yang berusaha membantu meringankan bebannya, walau hanya sedikit.
"Jagain adeknya aja nggak bisa, masa semua harus Mama terus?!" bentaknya ketika melihatku tidak bisa menenangkan tangis Johan.
Aku mencoba menjelaskan, tapi belum sempat kalimatku terucap, mamaku sudah memotong dengan nada tinggi.
"Kamu, tuh, udah gede, Jovan! Belajar, lah, cara nemenin adek kamu biarin nggak nangis terus!"
Kata-katanya menusuk hatiku. Aku ingin berteriak bahwa aku juga masih belajar, bahwa aku juga merasa bingung dan tak berdaya menghadapi kondisi Johan. Tapi aku menelan semua itu, menyimpannya dalam-dalam di hatiku.
Ketika Johan sedang mengalami tantrum hebat, untuk kesekian kalinya, aku mendengar teriakan Mama dari ruang keluarga.
"Jovan! Keluar dari kamar kamu!"
Dengan enggan—bukan karena tidak ingin menjaga Johan, melainkan takut terkena amarah Mama—aku melangkah keluar. Begitu sampai di ruang keluarga, pemandangan yang kulihat sungguh menyedihkan. Johan tergeletak di lantai, menangis dan berteriak, sementara Mama berusaha menenangkannya dengan wajah frustasi.
"Kamu, tuh, di kamar terus. Ngapain, sih?! Bantu Mama ini! Mama banyak kerjaan di rumah!" bentaknya padaku.
"Ya, maaf, Ma. Aku juga nggak tau harus gimana," aku menghela napas. "Ditemenin nggak mau, diajak main juga salah, aku juga bingung."
"Masa kamu jagain adeknya aja nggak bisa?" teriaknya lagi, kali ini dengan suara yang lebih melengking.
Kata-kata itu menusuk hatiku. Aku ingin membantu, sungguh, tapi aku juga tidak tahu bagaimana cara menangani Johan saat tantrum. Aku hanya bisa berdiri mematung, sementara jeritan tangis Johan terus memenuhi ruangan.
Sejak saat itu, hampir setiap hari aku harus menghadapi luapan emosi Mama. Energiku terkuras habis mendengar suaranya yang melengking, entah itu memanggilku keluar dari kamar atau mengoceh tentang bagaimana aku tidak banyak membantu menjaga adikku.
Saking lelahnya menghadapi situasi ini, aku menjadi lebih mudah mengantuk dan sering tertidur. Apalagi setiap pulang sekolah. Namun, bukannya mendapat pengertian, aku malah mendapat omelan lagi.
"Tidur mulu kerjaannya!" omel Mama suatu hari ketika menemukanku tertidur di sofa.
Aku hanya bisa diam, tidak berani membantah. Karena kalau dibalas, aku yang akan dicap sebagai 'anak durhaka', bukan? Bukankah itu yang kebanyakan anak rasakan hanya dengan membalas sahutan orang tuanya walau pun dengan nada lembut? Selalu anak yang salah, orang tua selalu benar karena mereka lebih berpengalaman, dan tentu saja, membandingkan anaknya dengan sebagaimana dulu mereka dibesarkan.
Kenapa anak-anak harus dibesarkan sebagaimana orang tua dibesarkan dulu kalau perbedaan zaman sangat berpengaruh?