Namaku Jovan.
Aku adalah seorang murid kelas 8 SMP yang cenderung pemalu dan lebih suka bergaul dengan teman-teman dekatku saja. Komunikasi bukanlah keahlianku, terutama jika topiknya bukan sesuatu yang aku sukai atau minati. Mungkin karena sifatku inilah, aku belum pernah merasakan "manisnya" pacaran seperti banyak teman perempuanku yang mudah bergaul dengan anak laki-laki, bahkan dari kelas lain.
Setiap hari, aku hanya bisa memperhatikan dari jauh bagaimana teman-temanku dengan mudahnya mengobrol dan bercanda dengan anak laki-laki. Aku selalu bertanya-tanya dalam hati;
Kapan aku bisa seperti mereka? Kapan aku bisa berkomunikasi dengan lawan jenis tanpa merasa malu?
Pagi itu, seperti biasa, aku melangkah masuk ke kelas dengan kepala tertunduk, berusaha tidak menarik perhatian siapa pun. Suara tawa dan obrolan riuh memenuhi ruangan, tapi aku merasa seperti berada di dunia yang berbeda. Aku menghempaskan diri di kursiku, mengeluarkan handphone, dan mulai membaca cerita Wattpad untuk mengalihkan perhatian dari kecemasan sosialku.
Namun, mau tidak mau, mataku terus melirik ke arah kerumunan anak-anak populer di sudut kelas. Mereka tampak begitu santai, tertawa lepas, dan berbicara dengan percaya diri. Aku menghela napas pelan, bertanya-tanya apakah suatu hari nanti aku bisa menjadi bagian dari kelompok itu.
Suatu hari, tatapanku tertuju pada seorang laki-laki di kelasku. Namanya Davi. Dia pintar, cakep, dan mudah bergaul. Senyumnya bisa melelehkan es di Antartika. Setiap kali melihatnya, jantungku berdegup kencang, seperti genderang perang yang menandakan awal dari pertempuran yang sudah kita tahu akan kalah.
Aku masih ingat hari pertama aku menyadari perasaanku pada Davi. Saat itu pelajaran IPA, dan kami sedang melakukan praktikum kelompok. Entah kebetulan atau takdir, aku sekelompok dengannya. Selama praktikum, aku berusaha keras untuk tidak gugup, tapi setiap kali tanganku bersentuhan dengan tangannya saat mengambil alat praktikum, rasanya seperti aku ingin melompat-lompat kegirangan.
Sayangnya, bukan cuma aku yang naksir Davi. Iva, salah satu cewek paling supel di kelas, juga tertarik padanya. Iva adalah kebalikan dariku—dia cantik, percaya diri, dan bisa dengan mudah berbicara dengan siapa saja, termasuk para laki-laki.
Aku sering memperhatikan interaksi mereka dari kejauhan, merasa iri sekaligus kagum pada kemampuan Iva untuk berbicara dengan lancar dan membuat Davi tertawa. Setiap kali melihat mereka berdua, ada rasa nyeri di dadaku yang sulit kujelaskan.
Saat jam pelajaran terakhir hampir selesai pada suatu hari, aku duduk di samping Iva. Tiba-tiba dia merobek secarik kertas kecil dari bukunya. Aku memperhatikannya dengan penasaran, bertanya-tanya apa yang akan dia lakukan.
"Buat apa, tuh?" tanyaku, tak bisa menahan rasa ingin tahuku.
"Gue mau nulis surat buat si Davi. Mau nyatain perasaan gue," jawabnya dengan senyum lebar sambil mulai menulis.
Aku hanya bisa bergumam pelan, "Oh..." Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya punya keberanian seperti Iva.
Selama beberapa menit berikutnya, aku diam-diam mengamati Iva menulis suratnya. Tangannya bergerak dengan cepat dan percaya diri di atas kertas, sementara aku hanya bisa membayangkan betapa gugupnya aku jika berada di posisinya.
Begitu bel pulang berbunyi, Iva langsung menghampiri Davi yang berjalan keluar kelas. Dengan santainya, ia menyodorkan kertas kecil itu. Aku memperhatikan dari jauh, jantungku berdebar kencang seolah-olah akulah yang sedang memberikan surat itu.
"Nih," ujar Iva singkat sebelum berbalik pergi.
Davi terlihat bingung. "Apa, nih?" tanyanya, tapi tetap menerima kertas itu.
Melihat kejadian itu tepat di depan mataku, sebuah ide gila muncul di benakku. Kalau Iva bisa menulis surat untuk Davi, kenapa aku tidak? Mungkin inilah saatnya aku mengalahkan rasa maluku dan mengambil risiko.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku dipenuhi oleh rencana menulis surat untuk Davi. Aku membayangkan berbagai skenario: bagaimana jika dia menyukai suratku? Atau bagaimana jika dia menolakku? Tapi tekadku sudah bulat. Aku harus mencoba.
Langkahku terasa ringan namun juga berat di saat yang bersamaan. Setiap langkah membawaku lebih dekat ke rumah, tempat di mana aku akan menuangkan perasaanku ke atas kertas. Namun, setiap langkah juga membawaku lebih dekat ke kemungkinan penolakan dan rasa malu.
Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu. Duduk di meja belajar, aku menatap kosong ke selembar kertas putih di hadapanku. Bagaimana aku harus memulainya? Apa yang harus kutulis?
Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, akhirnya aku memberanikan diri untuk mulai menulis:
Davi,
Mungkin kamu nggak pernah sadar kalau aku selalu memperhatikanmu. Setiap kali kamu tertawa, rasanya duniaku jadi lebih cerah. Senyummu itu loh, bisa bikin hatiku meleleh...
Aku terus menulis, mencurahkan semua perasaanku ke atas kertas itu. Satu halaman penuh. Aku tahu ini memalukan, tapi aku tidak peduli. Ini kesempatanku untuk mengungkapkan perasaanku pada Davi.
Kadang aku berhenti sejenak, menatap keluar jendela, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. Aku menulis tentang bagaimana aku mengagumi kebaikannya, kecerdasannya, dan caranya bergaul dengan murid lain. Aku juga menulis tentang perasaanku yang selama ini kusembunyikan, tentang bagaimana perasaanku setiap kali dia berbicara padaku.
Selesai menulis, aku membaca ulang suratku. Aku merasa malu membaca kata-kata yang baru saja kutulis. Apakah ini terlalu berlebihan? Apakah Davi akan menertawakanku? Tapi sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Aku melipat surat itu dengan hati-hati dan memasukkannya ke dalam amplop berwarna biru muda.