Aku bisa dengan lantang bilang kalau dulu aku adalah seorang FOMO. Ya, FOMO. Fear Of Missing Out. Tidak ingin tertinggal dalam apa pun yang sedang diikuti banyak orang, ingin ikut-ikutan saja agar tidak terlihat 'kudet' atau ingin diterima (fit in) di lingkungan. Dan inilah kisahku, kisah seorang gadis biasa yang terjebak dalam pusaran FOMO hingga mengalami patah hati pertamanya.
Setiap pagi, aku berdiri di depan cermin, menatap bayanganku sendiri. Aku merapikan rambutku untuk kesekian kalinya, memastikan seragamku sudah rapi, dan menghela napas panjang. "Oke, Jovan," bisikku pada diri sendiri, "Hari ini kamu harus lebih keren dari kemarin."
Sekolahku sangatlah besar, sebuah kompleks pendidikan yang mencakup jenjang TK sampai perguruan tinggi dalam satu area. Gedung SMP kami berada di lantai 3, dengan koridor panjang yang menghubungkan berbagai kelas. Kelasku, kelas 9-6, berada di salah satu ujung koridor, sementara kelas 9-1, yang menjadi pusat perhatian dalam kisahku ini, berada di ujung yang berlawanan.
Setiap pagi, aku berjalan menyusuri koridor itu dengan jantung berdebar. Mataku selalu waspada, mencari-cari sosok yang mungkin bisa kutemui dari kelas 9-1. Aku selalu berharap bisa berpapasan dengan mereka, meski hanya sekilas.
Di kelasku ada sekelompok perempuan yang dianggap 'populer', dan mereka semua naksir dengan anak laki-laki dari kelas 9-1 itu. Rina, si cantik yang menjadi ikon popularitas di kelas kami, sudah menjalin hubungan dengan Abi dari kelas 9-1. Sementara itu, Iva, sedang dalam tahap PDKT dengan Mario, juga dari kelas yang sama.
Ya, Iva yang sama yang pernah dekat dengan gebetanku yang sebelumnya, Davi. Tapi itu sudah berlalu di kelas 8, aku sudah di kelas 9 sekarang. Sudah cukup banyak waktu untukku tidak merasakan apa yang pernah kurasakan kepada Davi.
Aku? Aku hanyalah seorang gadis biasa yang berusaha keras untuk menjadi bagian dari kelompok populer itu. Setiap hari aku memperhatikan bagaimana Rina dan Iva berinteraksi, bagaimana mereka berbicara, bagaimana mereka bertingkah. Aku berusaha meniru gaya mereka, berharap bisa diterima dan dianggap sama 'keren'nya untuk menarik perhatian laki-laki.
Suatu hari, saat jam istirahat, aku memberanikan diri untuk bergabung dengan Rina dan Iva yang sedang mengobrol di sudut kelas.
"Eh, guys," sapaku gugup.
Rina menoleh, alisnya terangkat sedikit. "Oh, hai, Jov. Ada apa?"
"Nggak ada apa-apa sih," jawabku, berusaha terdengar santai. "Cuma mau gabung aja. Boleh, kan?"
Iva tersenyum, "Ya, boleh, lah. Sini, duduk."
Aku duduk di samping mereka. Ini dia, pikirku, kesempatanku untuk masuk ke lingkaran dalam.
"Ada mereka, tuh!" bisik Rina tiba-tiba.
Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Rina, melihat sekelompok anak laki-laki sedang berjalan melintasi lapangan di depan gedung kami. Mereka berjalan dengan penuh percaya diri, seolah-olah mereka adalah pemilik sekolah ini. Mataku tertuju pada salah satu dari mereka, seorang anak laki-laki berkacamata yang belum pernah kulihat sebelumnya. Ada sesuatu yang berbeda dari caranya berjalan, sesuatu yang membuatku penasaran.
"Va, siapa tuh yang pakai kacamata?" tanyaku kepada Iva penasaran.
Belum sempat Iva menjawab, Rina sudah menyahut, "Oh, itu Satria. Temen deketnya Abi."
"Ooh," gumamku, masih memperhatikan Satria dari jauh.
"Kenapa, Jov? Naksir?" goda Iva, menyikut lenganku pelan.
"Apaan, sih! Nggak, kok, cuma nanya aja."
Rina dan Iva saling pandang, lalu tertawa kecil. "Iya deh, iya," kata Rina, masih dengan senyum menggoda.
Sejak saat itu, entah mengapa, aku mulai menaruh perhatian pada Satria. Mungkin karena aku tidak ingin ketinggalan dari teman-temanku yang sudah punya gebetan masing-masing. Ya, inilah awal dari ke-FOMO-anku yang berujung pada patah hati pertama dan trust issue yang masih kubawa sampai sekarang.
Hari-hari berikutnya, aku mulai mencuri-curi pandang ke arah Satria setiap kali kami berpapasan di koridor atau saat dia melintas di lapangan. Aku bahkan mulai ikut-ikutan caper atau cari perhatian bersama Rina dan Iva setiap kali rombongan anak 9-1 itu lewat. Aku akan tertawa lebih keras, berjalan dengan lebih anggun, atau bahkan pura-pura tidak sengaja menjatuhkan buku agar mendapatkan perhatian.
Suatu hari, saat aku sedang berjalan sendirian di koridor, tiba-tiba aku melihat Satria berjalan ke arahku. Jantungku langsung berdegup kencang. Oke, Jovan, ini kesempatanmu, pikirku. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha terlihat cool dan tidak gugup.