JOVAN

Giovanna K. A.
Chapter #3

— Cinta? (3)

Aku menatap layar ponselku dengan senyum mengembang. Sudah seminggu berlalu sejak Satria, anak kelas 9-1 yang menjadi pujaan hatiku, pertama kali menghubungiku. Setiap hari, aku menantikan notifikasi dari ponselku, berharap ada pesan baru darinya. Dan hampir selalu, harapanku terkabul.

Pagi itu, di hari Rabu, aku baru saja keluar dari kelas ketika kulihat Nia, sahabatku yang sudah tahu tentang perasaanku terhadap Satria, berlari menghampiriku dengan wajah berseri-seri.

"Jov! Jov!" panggilnya dengan antusias. "Lu tau, nggak? Hari ini jadwal olahraga kita barengan sama kelas 9-1, tuh!"

Aku berusaha menyembunyikan kegembiraan yang tiba-tiba muncul di hatiku. "Serius lu? Kok, bisa?" tanyaku, berusaha terdengar biasa saja. Bayangan akan melihat Satria bermain basket memenuhi pikiranku.

Nia mengangkat bahunya. "Katanya, sih, ada perubahan jadwal mendadak. Tapi yang penting, lu bakal bisa liat Satria langsung, dong!"

"Yaelaah, biasa aja kali," bantahku, meski jantungku berdebar kencang.

"Halah, nggak usah pura-pura. Udah, ayo cepetan ganti baju olahraga, bareng," ajak Nia sambil menarik tanganku.

Entah mengapa, hari ini aku jadi lebih cermat memakai baju olahraga. Yang biasanya aku kenakan seadanya, kini aku usahakan terlihat serapih mungkin. Aku bahkan menyempatkan diri untuk menyisir rambutku yang biasanya hanya aku kuncir asal-asalan.

Ketika kami tiba di lapangan, kelas 9-1 sudah berkumpul di sana. Mataku langsung tertuju pada sosok Satria yang sedang bercanda dengan teman-temannya. Dia mengenakan kaos olahraga yang sama dengan yang kupakai. Kacamatanya diganti dengan lensa kontak, membuatnya terlihat... berbeda. Lebih keren, mungkin?

"Cieee, udah mulai liatin aja," celetuk Rina yang lewat di sampingku.

Aku hanya tersenyum malu, tidak bisa berkata-kata. Rasanya aneh melihat Satria secara langsung setelah seminggu hanya berkomunikasi lewat chat. Dia terlihat lebih... menarik.

Tak lama kemudian, Pak Doni, guru olahraga kami, datang dan memberi instruksi. "Oke, anak-anak! Hari ini kita akan bermain bola basket. Kelas 9-1 akan bermain dulu, sementara kelas 9-6 akan melakukan pemanasan. Setelah itu, giliran kelas 9-6 yang bermain. Lapangannya gantian, ya."

Ini kesempatan bagus untuk melihat Satria bermain tanpa harus khawatir tentang penampilanku sendiri di lapangan, pikirku.

Saat kelas 9-1 mulai bermain, aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari Satria. Gerakannya lincah dan penuh percaya diri. Dia mendribble bola dengan mudah, mengoper dengan akurat, dan bahkan berhasil mencetak beberapa poin. Tanpa sadar, aku mulai tersenyum setiap kali dia melakukan sesuatu yang mengesankan.

"Ehem," Rina berdeham di sampingku. "Kayaknya ada yang lagi terpesona, nih."

Aku tersadar dan cepat-cepat mengalihkan pandanganku. "Apaan, sih. Gue cuma... kagum sama permainan mereka, kok."

"Mereka? Atau cuma satu orang?" goda Iva yang tiba-tiba muncul di sebelahku.

Aku hanya mendengus pelan, tak bisa membantah godaan mereka. Memang benar, mataku hanya tertuju pada satu orang di lapangan itu.

Saat giliran kelas kami bermain, aku berusaha keras untuk tidak mempermalukan diriku sendiri. Meski bukan pemain handal, setidaknya aku bisa mendribble bola tanpa menjatuhkannya dan sesekali berhasil mengoper ke teman satu tim. Beberapa kali aku mencuri pandang ke arah Satria yang sedang duduk di pinggir lapangan. Apakah dia memperhatikanku juga? Atau itu hanya harapan kosongku saja?

Selesai pelajaran olahraga, kami kembali ke kelas masing-masing. Sepanjang sisa hari itu, pikiranku terus melayang ke Satria dan bagaimana dia terlihat saat bermain basket. Aku berusaha fokus pada pelajaran, tapi bayangan Satria yang bermain basket terus menghantui benakku.

Saat jam istirahat, ponselku bergetar. Sebuah pesan muncul dari nama kontaknya.

Satria: Nanti pulang sekolah gue sama temen-temen mau main basket lagi di lapangan

Satria: Mau nonton?

Jantungku serasa berhenti sejenak. Apakah ini... ajakan kencan? Tidak, tidak, jangan berpikir terlalu jauh, Jovan! Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum membalas pesannya.

Jovan: Boleeeh

Jovan: Kebetulan gue juga nunggu mama jemput

Satria: Oke! sip!

Pikiranku terus melayang ke ajakan Satria dan bagaimana nanti aku harus bersikap saat menontonnya bermain. Haruskah aku bersikap biasa saja? Atau menunjukkan antusiasme? Ah, kenapa urusan seperti ini saja bisa membuatku begitu gugup?

Begitu bel pulang berbunyi, aku bergegas membereskan barang-barangku. Tanganku gemetar sedikit saat memasukkan buku-buku ke dalam tas.

"Buru-buru amat," komentar Iva yang duduk di sebelahku. "Mau kemana lu?"

"Eh... itu..." aku terdiam sejenak, ragu apakah harus memberitahu Iva.

"Mau nonton Satria main basket, hehe..." jawabku akhirnya.

"Wah, udah mulai ada kemajuan, nih? Gue ikut, ya? Siapa tau ketemu Mario."

Aku mengangguk setuju. Lagipula, ada Iva di sampingku mungkin bisa membuatku lebih tenang. Kami berjalan beriringan menuju lapangan basket.

Di lapangan, Satria dan teman-temannya sudah mulai bermain. Aku dan Iva duduk di pinggir lapangan, bergabung dengan beberapa siswa lain yang juga menonton. Mataku langsung tertuju pada sosok Satria yang sedang mendribble bola dengan lincah.

"Liat, deh, Jov," bisik Iva, menyenggol lenganku pelan. "Dia kayaknya sering banget ngelirik ke arah lu."

Aku memperhatikan dengan seksama, dan benar saja, setiap kali Satria mendribble bola melewati sisi lapangan tempat kami duduk, matanya selalu melirik ke arahku. Bahkan beberapa kali dia tersenyum kecil. Jantungku serasa mau melompat keluar dari dadaku.

Permainan berlangsung seru. Satria dan timnya bermain dengan sangat baik, membuat kami yang menonton ikut bersemangat.

Setelah sekitar satu jam bermain, mereka akhirnya beristirahat. Satria berjalan ke arah kami, keringat membasahi wajah dan kaosnya. Jantungku berdebar semakin kencang seiring langkahnya mendekat.

"Hai," sapanya dengan senyum lebar. "Makasih, ya, udah mau nonton."

Aku berusaha bersikap normal. "Sama-sama. Kalian keren banget mainnya."

"Thanks," katanya sambil menggaruk belakang kepalanya, gesture yang entah mengapa membuatnya terlihat semakin menarik di mataku.

"Oh, iya, kenalin, itu temen-temen gue." Dia menunjuk ke arah teman-temannya yang sedang istirahat. "Ada Abi, Mario, Dimas, sama Reza."

Kami berkenalan dan mengobrol sejenak. Aku bisa merasakan tatapan iri dari beberapa siswa perempuan lain yang juga menonton. Mungkinkah mereka cemburu karena salah satu orang dari sirkel cool sekolah mengajakku bicara? Atau aku hanya terlalu percaya diri?

Tidak lama kemudian, ponselku berdering. Mama menelpon, memberitahu kalau ia sudah sampai di sekolah untuk menjemputku. Dengan berat hati, aku pamit pada Satria dan yang lainnya.

"Hati-hati di jalan, ya," kata Satria. Lalu, dengan suara yang sedikit lebih pelan, ia menambahkan, "Nanti malem... boleh chat lagi, kan?"

Aku berusaha menahan senyum lebarku. "Boleh banget. Duluan, ya!"

Sepanjang perjalanan pulang, aku tidak bisa berhenti tersenyum. Mama sampai bertanya, "Seneng banget keliatannya. Ada apa di sekolah?"

"Ah, nggak ada apa-apa, Ma," jawabku, berusaha menyembunyikan kegembiraanku.

Malam harinya, seperti yang dijanjikan, Satria menghubungiku lewat chat. Aku yang sedang mengerjakan PR langsung menyambar ponselku begitu mendengar notifikasi pesan masuk.

Satria: Hei, Jov

Satria: Udah sampai rumah?

Jovan: Udaaah

Jovan: Lu gimana? Udah mandi? 😄

Satria: Wkwkwk

Satria: Udah dong

Satria: Capek banget abis main tadi

Satria: Pegel

Jovan: Basket emang capek ga sih mainnya? 😂

Jovan: Yang penting tadi lu keren mainnya

Satria: Thanks. Seneng deh lu mau nonton tadi

Jovan: Besok main lagi?

Satria: Kayaknya sih iya

Satria: Lu mau nonton lagi ga? 😁

Lihat selengkapnya