Udara pagi yang sejuk menyapa kulit Jian, membuat gadis berambut pendek itu sedikit bergidik. Matanya menyapu seisi ruangan kelas barunya, kelas 6-5, mencari sosok yang sudah tidak asing lagi baginya. Jantungnya berdegup kencang, gugup menghadapi tahun ajaran baru. Tahun terakhirnya di SD.
Jian hanya bisa berharap tahun ini akan memperlakukannya dengan baik.
Di sana, di bangku kedua dari depan, duduk seorang gadis berkacamata dengan rambut dikepang dua. Kia, sahabat baiknya, tampak sibuk mencoret-coret sesuatu di buku tulisnya. Jian tersenyum lega, merasa beruntung masih bisa sekelas dengan sahabatnya.
"Pagi, Kia," sapa Jian riang sambil meletakkan tasnya di bangku sebelah Kia. Ia melirik coretan di buku Kia, penasaran. "Udah ngerjain PR?"
Kia mengangkat wajahnya dari buku, senyum lebar menghiasi wajahnya melihat kedatangan sahabatnya. Matanya berbinar di balik kacamata bundarnya. "Pagi, Jian! Udah, sih. Tapi ada beberapa soal yang masih bingung. Kamu gimana?"
Jian mengeluarkan buku PR-nya dari tas, membukanya di halaman yang ditandai. Ia mengernyitkan dahi melihat beberapa soal yang belum terjawab. "Sama, nih. Ada yang masih bikin pusing. Ngerjain bareng aja, mau?"
"Oke," Kia mengangguk, menggeser bukunya agar Jian bisa melihat dengan jelas. "Aku juga penasaran sama jawabanmu buat nomor 5. Itu susah banget!"
Keduanya segera larut dalam obrolan tentang pelajaran matematika yang menjadi PR mereka. Sesekali terdengar tawa kecil ketika salah satu dari mereka membuat lelucon tentang soal yang sulit. Suasana kelas yang tadinya sepi mulai ramai dengan celotehan murid-murid yang berdatangan.
"Eh, Jian," Kia tiba-tiba berbisik, matanya melirik ke arah pintu kelas. Suaranya terdengar sedikit tegang. "Lila dateng, tuh."
Jian menoleh, melihat seorang gadis berambut panjang dengan pita merah mencolok memasuki ruangan. Lila, si 'bintang' kelas yang selalu menjadi pusat perhatian, berjalan dengan anggun ke bangkunya di sudut belakang. Sepasang mata tajamnya sekilas menatap ke arah Jian dan Kia, sebelum ia duduk dan mulai berbincang dengan teman-teman di sekitarnya.
"Kenapa, sih? Biasa aja, kali," Jian mengangkat bahu, kembali fokus pada buku di hadapannya. Ia tidak mengerti kenapa Kia selalu terlihat gelisah setiap kali Lila muncul.
Kia terlihat ragu, suaranya makin pelan. "Nggak tau, ya. Akhir-akhir ini aku ngerasa Lila sering banget ngeliatin kita. Kayak... nggak suka gitu."
Jian tertawa kecil, mengacak rambut Kia dengan gemas. "Ah, kamu kebanyakan nonton sinetron, deh. Udah, lanjut ngerjain PR sebelom bel masuk, nih."
Tanpa mereka sadari, sepasang mata tajam masih mengawasi interaksi mereka dari sudut kelas. Lila, dengan senyum tipis yang sulit diartikan, terus memperhatikan Jian dan Kia.
X
Bel istirahat berbunyi nyaring, membuat seluruh murid bersorak gembira. Jian dan Kia, seperti biasa, menghabiskan waktu istirahat bersama di kantin.
"Eh, Ki," Jian berbisik sambil mengunyah roti cokelat favoritnya. "Nanti pulang sekolah, temenin aku ke toko buku, yuk? Mau beli novel baru, nih."
"Boleh aja," Kia mengangguk, lalu tiba-tiba teringat sesuatu. Ia mendekatkan wajahnya, berbisik, "Eh, ngomong-ngomong, kamu udah denger gosip baru, belom?"
Jian mengerutkan kening, tidak terlalu tertarik dengan hal-hal semacam itu. "Gosip apaan?"
"Katanya..." Kia semakin mendekatkan wajahnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Lila naksir sama Reza, anak kelas sebelah. Tapi Reza kayaknya nggak ngerespon."
Jian mengangkat alis, sedikit terkejut mendengar nama Lila disebut. "Terus? Apa hubungannya sama kita?"
"Ya nggak ada, sih," Kia mengangkat bahu. "Cuma kasih tau aja. Soalnya Lila kan selalu jadi pusat perhatian, jadi gosip tentang dia cepet nyebar."
Jian hanya mengangguk, tidak terlalu peduli dengan gosip tersebut. Ia lebih tertarik membicarakan rencana mereka untuk mengerjakan tugas kelompok di rumahnya akhir pekan nanti. Mereka menghabiskan sisa waktu istirahat dengan obrolan ringan dan tawa, tidak menyadari tatapan tajam yang sesekali diarahkan ke meja mereka dari seberang kantin.
X
Tanpa disadari, sudah hampir sebulan sejak tahun ajaran baru dimulai. Namun, Jian mulai menyadari adanya perubahan sikap dari beberapa teman sekelasnya, terutama Kia. Sahabatnya itu kini lebih sering menghabiskan waktu bersama Lila, yang sebelumnya jarang berinteraksi dengan mereka.
Jian memasuki kelas dengan perasaan gundah. Sudah seminggu ini Kia tidak lagi duduk di sampingnya, memilih untuk pindah ke bangku di dekat Lila. Jian mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, namun tetap saja ada rasa sakit yang menyelinap di hatinya setiap kali ia melihat Kia tertawa bersama Lila.
"Pagi, Kia," sapa Jian, mencoba terdengar ceria seperti biasa. Ia berdiri di samping bangku Kia, berharap bisa mengobrol sebentar sebelum pelajaran dimulai. "Gimana PR-nya? Udah selesai?"
Kia, yang sedang berbincang dengan Lila, menoleh sekilas. Ada kilatan ragu di matanya sebelum ia menjawab, "Oh, pagi, Jian. Udah, kok. Kamu?"
"Udah juga," Jian tersenyum, berharap bisa mengajak Kia mengobrol lebih lama. "Eh, nanti istirahat—"
"Kia," potong Lila tiba-tiba, suaranya terdengar manis namun ada nada sinis yang tersembunyi. "Jadi, nggak, kita ke perpustakaan? Mau nyari bahan buat tugas kelompok, kan?"
Kia terlihat ragu sejenak, matanya melirik Jian yang masih berdiri di samping mejanya. "Oh, iya. Jadi, kok." Ia berpaling ke Jian, ekspresinya menyiratkan penyesalan. "Maaf ya, Jian. Lain kali aja, ya?"
Jian hanya bisa mengangguk lemah, "Iya, nggak apa-apa." Ia berjalan kembali ke bangkunya yang kini terasa sepi tanpa kehadiran Kia. Sepanjang pelajaran, Jian tidak bisa fokus. Pikirannya terus melayang pada perubahan sikap sahabatnya dan tatapan dingin Lila yang sesekali ia tangkap.
Saat itulah Jian perlahan menyadari, ini semua pasti ulah Lila. Entah apa alasannya, gadis itu jelas ingin menghancurkan reputasi Jian.