Koridor sekolah yang biasanya tenang kini dipenuhi dengan poster-poster warna-warni menghiasi dinding, bagai kanvas raksasa yang menceritakan kreativitas para siswa. Setiap sudut dipenuhi oleh riuh rendah percakapan dan tawa, menciptakan suara khas sebuah sekolah yang tengah bersiap menyambut Market Day.
Di tengah hiruk pikuk itu, Jian berdiri terpaku. Kakinya seolah terpancang ke lantai, enggan melangkah lebih jauh. Ia merasakan seolah jantungnya hendak melompat keluar dari dadanya. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya, menciptakan sensasi tidak nyaman yang, sayangnya, terasa tidak asing.
Pikirannya melayang ke percakapan dengan Mama semalam. Senyum lebar Mama dan tepukan lembut di pundaknya masih terasa hangat dalam ingatan.
Aku yang ada pada malam itu, ingat dengan jelas kalau Jian tampak bersemangat untuk menjual dan mempromosikan dagangan kacang Mama di Market Day.
Jian menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Udara yang ia hirup terasa berat, seolah dipenuhi oleh ekspektasi dan tekanan yang tidak terlihat tapi ia tau itu ada.
Suasana kelas yang tadinya riuh rendah mendadak hening, bagai padang rumput yang tiba-tiba kehilangan hembusan anginnya. Puluhan pasang mata tertuju pada sosok Jian yang kini berdiri canggung di ambang pintu. Tatapan-tatapan itu terasa menusuk, menelisik setiap inci dari dirinya.
Jian bisa merasakan detak jantungnya semakin menggila. Keringat dingin kini bukan hanya membasahi telapak tangannya, tapi juga mulai merembes di dahinya. Ia menelan ludah dengan susah payah, tenggorokannya terasa kering.
Jian teringat ceramah singkat Bu Indah beberapa hari lalu tentang perundungan. Namun, sepertinya kata-kata bijak guru itu hanya masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri para siswa. Bahkan, efeknya justru sebaliknya. Mereka yang dulu hanya berani berbisik-bisik kini semakin lantang dalam mengejek, terutama yang laki-laki.
Dasar cemen!
Entah bisikan iblis licik apa yang dibisikkan oleh Lila sejak hari itu, tapi mereka semua seolah terhasut ke dalam omongan jahatnya. Lila, yang duduk di barisan belakang dengan angkuh, adalah yang pertama memecah keheningan.
Dengan senyum sinis yang sudah terlalu familiar bagi Jian, ia berkata, "Wah, liat, nih, siapa yang dateng. Si Inggris udah tiba!"
Ah, sepertinya kalian masih ingat kalau ayah tiriku adalah ayah dari kedua adikku, Jian dan Johan. Bisa ditebak, Jian adalah blasteran, sama sepertiku walau pun bukan dari asal yang sama.
Karena bahasa pertamanya bukan Bahasa Indonesia dan lebih sering berbincang dalam Bahasa Inggris, bisa dibayangkan kalau caranya berbicara Bahasa Indonesia akan terdengar berbeda dan dapat memberikan orang lain kesan yang salah. Ditambah lagi, hal ini yang membuatnya kesulitan membela dirinya sendiri.
Beda cerita kalau denganku. Jian bisa adu mulut denganku dengan fasih dalam Bahasa Inggris, yang justru selalu membuatku kesal karena kenapa dia begitu lantang denganku tapi tidak perundungnya?
Huft!
Kata-kata Lila menjadi pemicu awal. Tawa mengejek segera memenuhi ruangan, bagai ombak yang menghantam karang. Jian menundukkan kepalanya, berusaha mengabaikan tatapan-tatapan yang menusuk. Ia mempercepat langkahnya menuju bangkunya di depan kelas, berharap bisa segera duduk dan menjadi tidak terlihat.
Namun, Mawar tidak membiarkannya lolos begitu saja. Dengan gerakan yang tampak tidak sengaja namun jelas disengaja, ia menjulurkan kakinya tepat saat Jian melewati mejanya. Jian, yang tidak siap, tersandung dan jatuh tersungkur di lantai kelas. Suara gedebuk tubuhnya yang membentur lantai disusul oleh gelak tawa yang semakin keras.
"Ups, maaf," kata Mawar dengan tawa kecil yang dibuat-buat. Matanya berkilat jahat saat ia melanjutkan, "Aku lupa kalo kamu nggak bisa liat kaki orang Indonesia. Mungkin karena kamu terbiasa liat kaki orang bule, ya?"
Tawa kembali meledak di kelas, kali ini lebih keras. Jian berusaha bangkit, namun Raki dengan cepat meletakkan kakinya di atas punggung Jian, menahannya di lantai.
"Eh, tunggu dulu," kata Raki dengan nada mengejek. "Lu mau kemana? Kita belum selesai ngobrol, nih."
Jian meronta, berusaha melepaskan diri, tapi Raki semakin menekan kakinya.