Bukan pertama kalinya aku ikut camping yang diselenggarakan oleh pihak sekolah, tapi yang pertama kalinya diselenggarakan di sekolah. Pengalaman camping sebelumnya selalu di lokasi yang jauh, di kaki gunung atau area perkemahan khusus. Kali ini, rasanya aneh sekaligus menarik bisa berkemah di tempat yang sudah sangat familiar.
SMA-ku memiliki lapangan yang besar, salah satu alasan yang membuatku ingin masuk ini di masa-masa pencarian masuk sekolah meninggi baru. Saat pertama kali melihatnya saat open house, aku langsung terpesona. Lapangan yang luas itu terhampar di depan gedung utama sekolah, dikelilingi oleh pepohonan rindang yang memberikan keteduhan.
Lapangan yang cukup besar untuk memarkir 18 mobil ukuran sedang sampai menumpuk. Bayangkan saja, jika mobil-mobil itu diparkir berdampingan, masih ada sisa ruang yang cukup untuk beberapa kegiatan olahraga berlangsung bersamaan. Tidak heran jika lapangan ini sering menjadi tempat berbagai acara sekolah, dari upacara bendera hingga pentas seni.
Tentu saja, pihak sekolah akan memanfaatkan lapangan untuk kegiatan besar-besaran. Salah satunya camping. Ide untuk mengadakan camping di sekolah ini muncul dari OSIS, yang kemudian disetujui oleh pihak sekolah setelah melalui berbagai pertimbangan. Mereka melihat ini sebagai kesempatan untuk membangun kebersamaan dan kemampuan bertahan hidup siswa, tanpa harus mengeluarkan biaya besar untuk sewa lokasi perkemahan.
Karena tidak semuanya diwajibkan ikut, hanya murid-murid yang mau saja yang ikut. Tapi bukan berarti yang ikut tidak banyak, ya. Faktanya, lebih dari 70 siswa sekolah mendaftar untuk acara ini. Antusiasme terlihat jelas dari cara mereka membicarakan persiapan camping di kantin atau di lorong-lorong sekolah selama berminggu-minggu sebelum hari H.
Setelah daftar dari jauh-jauh hari, aku menemukan kelompok satu tendaku. Proses pembagian kelompok dilakukan secara acak oleh panitia, dengan tujuan agar siswa bisa mengenal teman-teman baru di luar lingkaran pertemanan mereka yang biasa. Awalnya aku sedikit cemas, takut tidak bisa cocok dengan anggota kelompok yang baru. Namun, kekhawatiran itu perlahan sirna saat aku mulai berkenalan dengan mereka.
Hani, Isel, Andrea, Livi, dan Keyla. 6 orang dalam satu tenda.
Aku pertama berkenalan dengan dengan Hani karena sokab, ternyata dia juga sangat ramah yang membalas ajakan obrolanku. Saat itu, aku sedang meletakkan tasku di dalam tenda dan melihat Hani sibuk dengan handphone-nya. Rasa penasaran mendorongku untuk memulai percakapan.
"Lu punya grup dance cover?" tanyaku sok tau saat melihat handphone Hani yang terpampang. Layarnya menampilkan sebuah grup chat dengan nama yang mencurigakan seperti nama grup dance.
"Oh! Iya, nih! Niatnya buat nanti pas PENSI," senyumnya. Mata Hani berbinar saat membicarakan hal ini, menunjukkan betapa antusiasnya dia dengan kegiatan tersebut.
Aku meletakkan tasku ke dalam tenda yang sudah di set-up. Proses mendirikan tenda tadi siang terlihat cukup melelahkan dari pihak panitia, tapi melihat hasilnya—sebuah tenda besar yang akan menjadi 'rumah' kami selama dua hari ke depan—rasanya sepadan dengan usaha yang dikeluarkan.
Hari sudah sore jadi tidak terlalu panas untuk memutuskan duduk di dalam tenda saja, melindungi diri dari kerumunan murid-murid lainnya yang masih sibuk mondar-mandir di luar, mengurus persiapan terakhir mereka.
"Gue boleh join, nggak?" tanyaku, setengah bercanda setengah serius. Meskipun aku tidak punya pengalaman menari, ide untuk bergabung dalam grup dance cover terdengar menarik.
"Mau join? Boleh, lah!" Hani langsung menulis ke handphone-nya. Responnya yang spontan dan positif membuatku tersenyum. Meskipun baru kenal, Hani sudah menunjukkan keramahan yang membuatku merasa diterima.
"Oh, iya, nama lu siapa?" tanya Hani, lupa kalau dia tidak bisa menulis namaku karena belum tau. Dia mengangkat pandangannya dari layar handphone, menunggu jawabanku.
"Jovan," jawabku, "salken, ya."
"Oke, siap, Jov. Gue Hani." Dia tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi putihnya yang rapi.
Tidak lama setelahnya, 2 orang dari tenda kita datang. Andrea dan Livi. Mereka muncul bersama, tas ransel besar menggantung di punggung masing-masing. Andrea, dengan kacamata bertengger di hidungnya. Sementara Livi, di belakangnya, dengan postur yang lebih kecil dan rambut sebahu yang diikat pendek.
"Eh, halo, kalian!" Andrea langsung menyapa sebelum masuk ke tenda. Suaranya riang dan penuh energi, kontras dengan Livi yang hanya tersenyum tipis di sampingnya.
"Tinggal siapa lagi?" tanya Livi, sudah lebih dulu duduk di dalam tenda yang masih kosong. Dia meletakkan tasnya dengan hati-hati, seolah takut mengganggu kerapian tenda.
"Isel sama Keyla, nih," jawab Hani. "Kalo Isel emang rada telat, rumahnya jauh. Nggak tau, dah, kalo Keyla." Dia mengangkat bahu, menunjukkan ketidakpastiannya tentang keberadaan 2 anggota kelompok yang belum datang.
Tidak perlu waktu banyak untuk aku berkenalan dengan mereka semua. Masing-masing dari mereka memiliki kepribadian yang unik, dan entah bagaimana, kami seperti potongan puzzle yang pas ketika disatukan. Hani dengan sifat ramahnya dan banyak bicara, Isel yang selalu punya cerita atau gosip untuk diceritakan, Andrea si yang jadi sosok "keibuan" di kelompok kita, Livi yang selalu merespon candaan yang lain, dan Keyla yang tampaknya paling tenang namun humoris.