Ah, aku hampir lupa menceritakan tentang adikku, Jian, karena terllau fokus dengan sosok "kakak" baru di sekolah yang paling bisa mengerti aku, yang tidak membuatku stress di rumah setiap hari, yang aku anggap lebih dekat dari adik kandungku sendiri.
"Did you know that my friends—" (Kamu tau, nggak, kalau teman-temanku—).
Aku memutar bola mataku dengan sebal, malas sekali setiap Jian membuka mulutnya. Sudah berapa tahun berlalu, dan dia masih saja mencoba mencari perhatianku dengan cara yang sama?
Aku sudah muak mendengar cerita tentang teman-temannya yang tidak pernah kutemui dan tidak pernah aku pedulikan. Setiap kali dia mulai berbicara, rasanya seperti ada gerutu yang tertahan di tenggorokanku, ingin meledak keluar.
Aku sudah membuat sejelas mungkin kalau aku tidak tertarik berbicara atau berinteraksi dengannya. Bahasa tubuhku, nada suaraku, bahkan tatapan mataku—semuanya berteriak "Jangan ganggu aku!"
Tapi Jian, seperti biasa, terlalu bebal untuk menangkap sinyal-sinyal itu, atau mungkin dia sengaja mengabaikannya. Setiap gerakan tanganku yang gelisah, setiap helaan napas yang berat, seharusnya sudah cukup untuk memberi tahu bahwa aku ingin sendiri.
Namun, di sinilah dia, masih terus berbicara seolah-olah kami adalah sahabat karib.
Ada kalanya aku berpikir, "Kakak macam apa kamu? Nggak bisa akur sama adek sendiri?"
Pertanyaan itu sering muncul saat aku sendirian dengan pikiranku sendiri. Aku bertanya-tanya, apakah ada yang salah denganku? Apakah aku terlalu keras? Terlalu dingin?
Tapi kemudian, kenangan-kenangan pahit kembali menyeruak, mengingatkanku mengapa hubungan kami bisa seburuk ini. Setiap kali aku mencoba untuk melunakkan hatiku, bayangan masa lalu datang seperti ombak yang menghantam tebing, mengikis setiap niat baik yang mungkin kumiliki.
Aku masih ingat dengan jelas, seolah baru kemarin terjadi, saat-saat di mana Jian mulai menunjukkan ketidaksukaannya padaku. Salah satu momen yang paling membekas adalah ketika kami masih kecil, mungkin Jian baru berusia 5 tahun dan aku 10 tahun.
Saat itu, kami sedang dalam perjalanan keluarga. Mobil kami penuh sesak dengan barang-barang untuk liburan. Koper-koper berdesakan di bagasi, dan tas-tas makanan ringan berserakan di lantai mobil. Mama, dengan senyum lembutnya yang khas, menyuruh Jian untuk duduk di sebelahku di kursi belakang.
"I don't want to sit next to her!" Jian berteriak, wajahnya cemberut karena marah. Matanya yang biasanya bersinar ceria kini dipenuhi amarah yang tidak kusangka bisa ada pada anak seusianya. (Aku nggak mau duduk di sebelahnya!)
"She always takes up too much space because she's too—" (Dia selalu mengambil terlalu banyak tempat karena dia terlalu—)
Oke, akan aku berhentikan di situ karena sangat amat menyakitkan kalau diingat-ingat lagi.
Aku masih bisa merasakan rasa sakit yang menusuk hatiku saat itu. Bukan hanya karena kata-katanya yang kejam, tapi juga karena reaksi orangtua kami. Alih-alih menegur Jian atas sikapnya yang tidak sopan, mereka malah berusaha membujuknya. Aku melihat Papa dan Mama bertukar pandang, seolah-olah mereka tidak tahu harus berbuat apa.
"Jian, your sister won't bother you," Papa berkata lembut, sementara Mama mulai mengatur ulang tempat duduk kami. (Jian, kakakmu nggak akan mengganggu kamu).
Akhirnya, aku terpaksa duduk di depan, diapit oleh tumpukan tas dan barang-barang, sementara Jian mendapat seluruh kursi belakang untuk dirinya sendiri. Sepanjang perjalanan, aku bisa mendengar dia tertawa dan bernyanyi, seolah-olah kemenangannya atas diriku adalah hal yang patut dirayakan. Suaranya yang riang terdengar seperti ejekan di telingaku, setiap tawa dan senandung mengingatkanku betapa tidak adilnya situasi ini.
Kejadian itu hanyalah awal dari serangkaian penolakan Jian terhadapku. Beberapa tahun kemudian, ketika aku berusia 13 tahun dan Jian 7 tahun, ada insiden lain yang semakin memperdalam jurang di antara kami.
Mama memintaku untuk menemani Jian ke sekolah. Aku sebenarnya tidak keberatan; meskipun hubungan kami tidak baik, aku masih merasa bertanggung jawab sebagai kakak. Namun, reaksi Jian sungguh di luar dugaan. Pagi itu, ketika aku sudah siap dengan tas sekolahku, menunggu Jian di depan pintu, dia muncul dengan wajah cemberut.
"I don't want to go with her!" Jian protes, matanya menatapku tidak suka, suaranya memecah keheningan pagi. (Aku nggak mau pergi sama dia!).
"She's so boring and always treats me like a baby! Can I go with Papa instead?" Jian melanjutkan, tangannya terlipat di dada dalam sikap menantang. (Dia membosankan dan selalu memperlakukanku seperti bayi! Boleh, kah, aku pergi sama Papa aja?)
Aku melihat Mama menghela napas panjang, matanya melirik jam dinding dengan gelisah. Akhirnya, Papa yang menemani Jian ke sekolah, sementara aku ditinggal di rumah dengan perasaan terluka dan ditolak.
Saat mereka pergi, aku duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke arah TV yang mati. Suara tawa riang Jian yang terdengar dari luar rumah terasa seperti tamparan di wajahku. Mengapa dia begitu membenciku? Apa yang telah kulakukan?
Tapi tidak apa-apa, perasaan kita sama. Aku juga tidak menyukainya, dia menyebalkan. Sangat, sangat, sangat menyebalkan.
Tahun-tahun berlalu, dan sikap Jian terhadapku tidak membaik. Bahkan ketika kami sudah remaja, dia masih sering menunjukkan ketidaksukaannya secara terang-terangan.
Akan aku tekankan kalau bisa dibilang Jian itu… bratty.
Aku mengajak beberapa teman dekat untuk bermain di rumah. Jian, yang saat itu berusia 9 tahun, jelas tidak senang dengan kehadiran teman-temanku. Dia mondar-mandir di sekitar rumah dengan wajah masam, seolah-olah kehadiran kami adalah sesuatu yang menyakiti dirinya.
"Can she just go away?" Aku mendengar Jian berbisik keras kepada Mama di dapur. (Bisa nggak dia pergi aja?).