Malam sudah larut di area perkemahan sekolah kami. Jam digital di ponselku menunjukkan pukul 10 lewat 13 menit, tapi suasana di dalam tenda kelompokku masih riuh dengan canda tawa. Acara uji nyali yang menegangkan telah berakhir beberapa jam lalu, meninggalkan kami dengan adrenalin yang masih terpacu. Alih-alih tidur, kami memutuskan untuk bermain UNO di bawah cahaya temaram lampu darurat yang tergantung di tengah tenda.
"Tambah 4! Warna merah!" seru Isel, membuat Livi mengerang.
"Ah, elah, Sel! Kok, gue mulu sih yang kena?" protes Livi sambil tertawa kecil dan mengambil 4 kartu dari tumpukan.
Hani terkekeh, "Nasib lu emang lagi apes kali, Liv."
Aku dan Andrea hanya bisa menahan tawa melihat ekspresi Livi yang cemberut. Suasana di dalam tenda kami kontras sekali dengan keheningan malam di luar. Angin malam sesekali berhembus, membuat dinding tenda bergetar pelan.
Tiba-tiba, keributan dari tenda sebelah memecah konsentrasi kami. Terdengar suara gaduh disusul jeritan melengking seorang perempuan.
"Ssst! Denger, deh," bisik Hani, mengangkat tangannya memberi isyarat agar kami diam.
Kami terdiam seketika, kartu-kartu UNO terlupakan di tengah-tengah lingkaran kami. Saling berpandangan dengan wajah penasaran, kami mencoba menajamkan pendengaran.
"Suara apaan, tuh?" tanya Andrea, suaranya setengah berbisik.
Perlahan, aku merangkak ke arah pintu tenda. Dengan hati-hati, kubuka sedikit resleting tenda dan mengintip keluar. Yang lain ikut mendekat, berebut posisi untuk melihat.
"Ada apa, sih?" bisik Keyla, berusaha melihat dari balik bahuku.
Melalui celah sempit, kami melihat bayangan beberapa orang yang bergerak-gerak di dalam tenda sebelah. Cahaya dari dalam tenda itu bergoyang-goyang, menciptakan siluet yang menari-nari di dinding tenda.
"Lepasin gue! Lepasin!" Jeritan melengking seorang gadis kembali memecah keheningan malam, kali ini lebih jelas dan terdengar lebih mengerikan.
"Eh, ini tolongin!" teriak suara lain, terdengar panik dan ketakutan.
Apa yang sebenarnya terjadi di tenda sebelah?
Tidak lama kemudian, dua orang kakak panitia berlari menghampiri tenda tersebut. Salah satunya membawa senter, cahayanya menyapu area sekitar tenda sebelum mereka masuk ke dalamnya.
"Tenang, tenang! Ada apa ini?" Terdengar suara salah satu panitia dari dalam tenda.
Suasana hening sejenak. Kami menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Hanya terdengar bisikan-bisikan pelan dan suara isak tangis tertahan.
Tiba-tiba, tenda itu terbuka dengan kasar. Seorang gadis ditarik keluar, tubuhnya mengejang dan bergerak-gerak tidak terkendali. Matanya terbuka lebar, menatap kosong ke langit malam. Mulutnya terbuka, mengeluarkan suara-suara aneh yang tak bisa kami pahami.
"Astagfirullah..." bisik Hani.
Kami terdiam, terpaku menyaksikan pemandangan di depan mata. Gadis itu masih memberontak, sementara kakak-kakak panitia berusaha keras mengendalikannya. Rambutnya yang panjang terurai berantakan, wajahnya pucat pasi di bawah cahaya bulan. Tiba-tiba, dia berteriak dengan suara yang tidak mirip suaranya sendiri, "Kalian tidak berhak di sini! Ini tempat kami!"
Salah satu panitia mulai membacakan ayat-ayat Al-Qur'an, suaranya bergetar namun tegas. Gadis itu semakin memberontak, tubuhnya menggeliat seperti ular yang terjebak. "Diam! Hentikan itu!" teriaknya dengan suara berat yang mengerikan.
"Panggil Pak Jamal! Buruan!" teriak salah satu panitia, meminta guru agama yang kami kenal untuk datang segera.
Beberapa siswa mulai keluar dari tenda mereka, penasaran dengan keributan yang terjadi. Bisik-bisik mulai terdengar di sana-sini. Suasana mencekam semakin terasa ketika angin malam bertiup kencang, menggoyangkan pepohonan di sekitar area perkemahan.
"Keluar, skuy," ajak Isel, membuka resleting tenda lebih lebar.
Kami saling berpandangan sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri untuk keluar. Udara malam yang dingin langsung menyergap kulit kami. Kami bergabung dengan siswa-siswa lain yang mulai berkumpul, membentuk kerumunan kecil yang penasaran.
"Eh, ini kenapa, dah? Kok, tiba-tiba jadi rame?" tanya seorang siswa kepada entah siapa yang bisa menjawab.
Belum hilang keterkejutan kami, terdengar lagi suara gaduh dari tenda lainnya. Kali ini lebih dekat, hanya beberapa tenda dari posisi kami. Seorang siswa laki-laki tiba-tiba keluar dari tendanya, berguling-guling di tanah sambil berteriak-teriak. Matanya terbalik, hanya memperlihatkan bagian putihnya saja.
"Eh?! Ya, Allah!" teriak salah seorang siswi, mundur ketakutan.
Panitia yang lain segera berlari menghampiri. Mereka berusaha menenangkan siswa tersebut, tapi dia memberontak dengan kekuatan yang tidak wajar. "Jangan ganggu kami! Pergi kalian!" teriaknya dengan suara yang dalam dan menggeram.
Pak Jamal akhirnya tiba di lokasi. Dengan sigap, dia mendekati gadis yang pertama kesurupan. Tangannya memegang sebotol air yang sudah dibacakan doa. "Bismillahirrahmanirrahim," ucapnya lantang, memercikkan air ke wajah gadis tersebut.
Gadis itu menjerit kesakitan, tubuhnya mengejang hebat. "Panas! Panas!" teriaknya, suaranya kembali normal untuk sesaat sebelum berubah menjadi geraman rendah yang menakutkan.
Sementara itu, siswa laki-laki yang kesurupan tadi masih memberontak. Tiga orang panitia berusaha menahannya, tapi dia memiliki kekuatan yang luar biasa. "Lepaskan! Ini bukan urusanmu!" teriaknya dengan suara yang bukan miliknya.
Suasana semakin mencekam ketika tiba-tiba terdengar lagi jeritan dari arah berbeda. Kali ini dari tenda di seberang lapangan. Suara jeritan itu begitu memilukan, membuat beberapa siswa di sekitar kami terlonjak kaget.
"Ini apa-apaan, sih?" tanya salah seorang siswi, suaranya bergetar ketakutan.
Jumlah siswa yang kesurupan terus bertambah. Dalam hitungan menit, sudah ada lima orang yang mengalami hal serupa. Masing-masing menunjukkan gejala yang berbeda-beda. Ada yang menangis histeris, ada yang tertawa-tawa mengerikan, bahkan ada yang berbicara dalam bahasa Sunda yang tidak aku mengerti.
"Eh, lu tau, nggak, ini kenapa?" tanya Andrea pada salah satu siswa yang berdiri di dekat kami.
"Katanya ada yang kesurupan," jawabnya dengan nada setengah berbisik, matanya masih terpaku pada kekacauan di sekeliling kami. "Awalnya cuma satu, tapi sekarang udah nambah 5 orang kayaknya."
Kami saling berpandangan, campuran antara kaget dan tidak percaya. 5 orang? Bagaimana bisa terjadi secara bersamaan seperti ini?
"Ngeri banget, ih," Hani bergidik ngeri, tangannya mencengkeram lenganku erat-erat. "Kok, bisa sampe sebanyak ini?"
Aku menggeleng, tidak tahu harus menjawab apa. Pemandangan di hadapan kami seperti adegan dari film horor yang menjadi kenyataan. Siswa-siswi yang kesurupan bergerak-gerak tidak wajar, beberapa bahkan mampu melepaskan diri dari cengkeraman para panitia yang berusaha menenangkan mereka.