Waktu berlalu dengan cepat, seolah dikompresi oleh kegembiraan dan antisipasi yang menggelembung di udara. Setelah makan malam yang ramai dan acara api unggun yang meriah—dipenuhi nyanyian dan cerita-cerita seru—jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Suasana sekolah kini dipenuhi gelak tawa dan bisikan-bisikan penuh antisipasi dari para siswa siswi yang berkumpul untuk uji nyali.
Lampu-lampu sekolah sebagian besar telah dimatikan, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari-nari di dinding. Udara malam yang sejuk membuat beberapa siswa mengeratkan jaket mereka, sementara yang lain tampak terlalu bersemangat untuk merasa kedinginan.
"Oke, guys!" suara Kak Thomas, ketua OSIS, memecah keramaian. Ia berdiri di atas sebuah kursi, berusaha agar semua orang bisa melihat dan mendengarnya. "Kita akan mulai uji nyali sekarang, ya. Setiap kelompok akan dikasih petunjuk dan harus mengikuti rute yang udah ditentukan. Ingat, tetap bersama kelompok kalian dan jangan berpencar!"
Hani, yang berdiri di sampingku, menyikut lengan Isel. "Siap-siap ketemu Mbak Kunti, nih?"
Isel, dengan senyum lebar di wajahnya, menjawab santai, "Yah, kalo Mbak Kuntinya secantik Yoona, sih, gapapa."
Uji nyali akan segera dimulai, dan kami—aku, Hani, Isel, Andrea, Livi, dan Keyla—sudah siap dengan senter di tangan dan... err, bawang putih di saku.
Ya, Isel bersikeras membawa sebungkus bawang putih, yang entah dia dapat dari mana. Katanya untuk jaga-jaga kalau bertemu vampir.
"Ini bawang dapet dari mana pula?" Andrea mengamati bawang di tangannya.
"Entar dikira mau masak di tengah uji nyali," ledek Hani.
Isel cuma nyengir, "Siapa tau entar kita ketemu drakula yang lagi puasa. Kan, lumayan buat buka."
"Kelompok 8, maju!" panggil salah satu panitia OSIS dengan suara lantang.
"Let's go, guys!" seru Isel dengan gaya dramatis, mengangkat tangannya tinggi-tinggi seolah-olah memimpin pasukan ke medan perang.
Salah satu panitia OSIS, memberikan kami selembar kertas berisi petunjuk pertama. Kertas itu terlihat usang dan sedikit robek di pinggirnya, menambah kesan misterius.
"Carilah ruang yang penuh angka, di sana petunjuk selanjutnya menunggu kalian," Andrea membaca petunjuk tersebut dengan suara pelan, alisnya berkerut saat ia berpikir.
"Ruang matematika, nggak, sih?" tanya Livi.
"Atau jangan-jangan kantong ajaib Doraemon?" tambah Keyla, mencoba mencairkan suasana dengan leluconnya.
Koridor-koridor yang gelap tidak terlalu menakutkan ketika kami bersama-sama seperti ini. Suara langkah kaki kami bergema di lorong kosong, sesekali diselingi bisikan dan tawa tertahan.
Petualangan dimulai. Kami menyusuri koridor gelap sekolah, ditemani suara-suara mencurigakan yang entah asli atau rekaman murahan dari HP panitia.
Tiba-tiba, suara erangan terdengar dari balik sebuah kelas. Suara itu panjang dan menyeramkan, membuat bulu kuduk kami berdiri.
"Astaga!" Livi terlonjak kaget, refleks memegang lengan Keyla di sampingnya. Jantungnya berdegup kencang, terlihat dari naik turunnya dadanya yang cepat. Namun, sedetik kemudian ia tertawa, "Duh, hampir aja gue pipis di celana."
"Tenang, Liv. Kalo ada apa-apa, lu bisa sembunyi di balik Jovan," Keyla menepuk-nepuk belakang pundakku.
"Gue udah siap jadi tameng hidup, nih," balasku dengan nada bercanda.