Pekerjaan sebagai pelatih paskibra sudah berjalan dua minggu, artinya sudah dua kali pertemuan. Alhamdulillah sampai sekarang gak ada kendala buat gue. Cuma satu yang agak mengganjal di hati dan dengkul. Sepucuk surat yang mendarat di tangan gue. Entah dari siapa yang pasti pengirimnya anak sekolah di sini juga.
Pengen sekali gue bales, “Maaf Dek, teteh gak niat jadi pedofil.” Segera gue urungkan niat itu, karena dampaknya pasti jelek untuk masa depan anak itu.
Gue perhatikan gerak-gerik siswa yang lewat depan gue. Sepengamatan gue sih gak ada yang mencurigakan dan berlagak sok perhatian. Hanya anak-anak biasa yang kalau lewat sedikit membungkuk sambil berkata, “Permisi Teh.”
Pemandangan yang sangat langka buat gue sekarang ini. Karena mengingat krisis moral dan sopan santun memang lagi menggerogoti anak muda sekarang.
Ketika keringat mengucur deras seperti air terjun dan badan sudah lengket gak karuan. Ada seorang anak laki-laki yang nyamperin gue sambil senyum. Gue perhatiin ini anak kayaknya kutu buku deh. Keliatan dari penampilannya, kacamata Harry Potter plus dasi yang melingkar rapi di lehernya. Padahal anak-anak yang lain jam segini dasinya udah dijadiin bahan selepetan.
“Teh Leha,” sapanya sambil terus menyunggingkan senyumnya. Ternyata giginya dipager. Aduh ini tipe anak perumahan yang kalau keluar rumah cuma sekolah sama beli telor di warung doang.
“Iya kenapa?”
Gue menjawab dengan nada seringan mungkin biar gak menimbulkan kesa agresif apalagi negatif.
“Kenalin Teh, saya Randi anak XII IPA. Teteh sibuk gak?”
Wiiihh anak IPA. Pantesan.