“Alhamdulillah ya, Mi. Tadi hampir aja kita telat.”
“Iyaaaa... Ummi udah cemas banget. Adaaaa aja tadi macet parah ya.”
“Mi, jadi rencananya, menurut Abang nih ya. Nanti kita sampaikan kalau Abang akan nikah di Jakarta. Keluarga Aceh gak perlulah hadir ke Jakarta. Keluarga kita kan banyak, lumayan biayanya. Kalo pun ada yang dateng, gak mungkin semua bisa karena jauh dan pertimbangan kerjaan atau anak-anak yang masih kecil. Jadi, gimana kalo, ya kita ngasih tahu aja acara di Jakarta nanti. Setelah itu, Abang ajak Juleha ke Aceh, kita buat acara di sana bersama keluarga besar kita. Sekalianlah Abang bulan madu dan ngenalin ke Juleha tentang indahnya Banda Aceh.”
Setelah berhasil duduk di kursi pesawat, akhirnya saya dan Ummi bisa ngobrol santai tentang acara pernikahan nanti.
“Boleh-boleh, Ummi setuju. Insyaallah Abi juga setuju.”
Hampir 3 jam perjalanan Jakarta menuju Banda Aceh. Saya habiskan waktunya untuk murojaah dan sesekali tertidur.
Alhamdulillah. Kami tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda. Kami tidak menggunakan jasa barang di bagasi sehingga lebih cepat untuk bergegas keluar. Saya langsung menemukan Yahbang (sebutan kakak dari Ummi, mungkin biasa dipanggil dengan uwak). Yahbang bersama istri sudah melambaikan kedua tangannya sambil memberikan isyarat “Haaaiiii kami di sini.” Begitu saya menangkap isyarat itu.
Alhamdulillah. Bahagia sekali rasanya bisa menghirup udara di Banda Aceh setelah satu tahun yang lalu saya memutuskan untuk bangun usaha di Jakarta. Ada niatan rasanya ingin kembali lagi ke Banda Aceh yang kotanya menurut saya lebih tenang dan damai.
Sesampai di rumah, saya langsung pamit sama Ummi untuk keluar. Tidak sabar sekali rasanya ingin menikmati Mi Aceh dan kopi khas Aceh di warung langganan. Saya memilih untuk menggunakan motor agar lebih cepat dan merasakan langsung angin malam koda Banda Aceh yang dingin dan cukup kencang. Seperti mau hujan karena tidak ada bintang yang terlihat malam ini.
Saat sedang asyik mengendarai motor, tiba-tiba hujan turun begitu derasnya. Saya sampai tidak bisa melihat jalan secara jelas. Belum sempat mengurangi kecepatan dan BRAAAAAAAAAAAAKKKK.
**
“Mii...” Membuka mata secara perlahan yang masih belum jelas pengelihatan ini. Rasanya masih berupa bayang-bayang. Saya tutup lagi kedua mata ini, dan perlahan coba dibuka kembali.
Alhamdulillah, saya lihat sosok Ummi yang ada tepat di sebelah tempat saya sedang berbaring. Mata Ummi sembab, sepertinya habis menangis.
“Alhamdulillah, Abang sadar juga.”
Saya melihat sekitar dengan mata yang masih menyipit dan kening yang berkerut. Saya coba untuk tarik napas panjang secara perlahan beberapa kali. Saya pun merasa sudah benar-benar sadar dan merasakan ngilu sekali di bagian kaki dan kepala rasanya pusing.