Pertemuan kembali dengan Randi si anak SMA yang nekat nembak gue dulu, rasanya kayak ketemu sama kloningan dia yang versi alim dan dewasanya gitu. Tapi yang jadi pertanyaan adalah, gimana bisa dia sekarang jadi seorang ustad terus lagi mimpin sebuah Pondok Pesantren? Masyaallah, emang rencana Allah itu ga ada yang bisa nebak ya. Gue kira dia bakal jadi tentara atau polisi, soalnya liat bakat dia di Paskibra dulu dan orangnya juga disiplin banget. Eh polisi? Gue jadi inget, ah sudahlah.
Eh bentar, bentar, gue jadi inget nih dulu pernah mimpi nikah sama Randi kan, yasalaaaaaammmmm. Kalo kejadian dengan Randi yang sekarang gimana yak? Hahahaha. Ets, gue harus jaga sikap, dia bukan Randi yang dulu, dia adalah Ustad Randi.
Sambil merapihkan buku-buku gue yang sudah lebih banyak tentang motivasi Islam. Ada buku series yang dikasih sama Melati, judulnya OTW Halal, OTW Hijrah dan OTW Istiqamah. Gue jadi kepikiran, Ustad Randi itu cocok kali ya sama Melati. Yang satu kalem, shaleha, yang satu lagi pimpinan pesantren yang insyaallah juga udah shaleh.
“Lehaa....Haaa..”
Lengkingan suara enyak makin hari makin melemah ternyata, mungkin karena faktor usia ya, pita suara enyak gak sekuat dulu.
“Hadir Nyaaakkk... tunggu bentar.”
Gue menghampiri enyak yang sedang duduk di ruang tamu.
“Kenapa sih, Nyak? Kok sendu gitu sih? Senyum dong! Liat tuh burung Beo-nya engkong Maun aja senyum mulu tiap hari, padahal dia dikandangin.”
Enyak mengangkat wajahnya, tersenyum tipis dan memegang wajah gue. Garis halus di sekitar mata dan pipi enyak sudah semakin jelas, seolah memperjelas bahwa usia enyak sudah tidak muda lagi.
“Leha, Lu tau kaga apa yang Enyak takutin sekarang?”
“Apa, Nyak?”
“Enyak takut ninggalin Lu ketika Lu belum punya pasangan hidup. Nanti Lu tinggal ama siapa yak?”
Deg! Jantung yang lagi selow seketika melompat dari tempatnya, memacu lebih cepat dari biasanya, napas gue pun berlomba tak beraturan. Gue peluk enyak dengan erat. Hangat terasa di punggung, ternyata enyak menumpahkan lautan air mata di sana.
“Enyak jangan kayak gini lagi ya. Leha jadi takut, Nyak.” Akhirnya gue dan enyak nangis berjamaah.
Ketika sedang asyik dengan air mata, terdengar suara orang memberi salam.
Gue coba mengintip dari balik jendela, ternyata Ustadzah Harum dan Melati yang datang. Bergegas gue ke kamar untuk mengambil jilbab.
“Siapa, Ha?” Bisik enyak.
“Ustadzah Harum sama Melati, Nyak. Enyak bukain dulu ya. Leha mau ke kamar.”
Gue keluar dengan setelan gamis rumahan dan jilbab bergo andalan. Semenjak hijrah, gue selalu siap sedia bergo dan gamis rumahan yang digantung di belakang pintu. Buat kondisi darurat jadi ga harus nyari baju di lemari lagi kan. Pinter gak sih gue? Haha, padahal juga semua yang udah hijrah kayaknya gitu yak.
“Assalamualaikum Ustadzah, Melati.”
“Waalaikumsalam, Leha.”
Gue penasaran ada apa tiba-tiba ibu dan anak datang barengan? Biasanya cuma salah satu di antara mereka aja yang datang. Gue lirik Melati yang mesem-mesem ga karuan. Kadang matanya ngelirik gue seolah gue harus bisa baca kode dari dia. Haduh, Melati lupa kayaknya ya, gue bukan anak pramuka yang paham sandi begitu, gue pahamnya langkah tegap maju sama periksa kerapihan.
“Leha, gimana kabarnya, sudah merasa baikan?”
“Alhamdulillah sudah lebih baik Ustadzah, Leha merasa seperti manusia baru yang bangkit untuk menyambut kehidupan baru.” Gue usahakan tersenyum walau mata ini masih sembab akibat nangis jamaah sama enyak tadi.
“Alhamdulillah kalau begitu, semoga seterusnya ya Leha bahagia. Karena sejatinya, kehilangan adalah bentuk kasih sayang Allah sama kita, Allah mengingatkan kita bahwa setiap orang dalam hidup kita, cepat atau lambat akan pergi meninggalkan kita, entah apapun itu alasannya. Kita harus bisa siap menerima dan jangan berlarut dalam kesedihan.”
Senyum kehangatan Ustadzah Harum sangat menentramkan hati, kata-katanya dalam banget ngalahin sumur belakang rumah.
“Iya, Mpok. Insyaallah akan ada pelangi setelah badai, akan ada pria pengganti setelah gagal.” Melati menimpali dengan senyum manisnya yang khas.
“Alhamdulillah Ustadzah, Leha anak yang kuat, dia mampu menghadapi ini semuanya. Enyak aja nih kadang yang suka sedih liat anak Enyak ko gini amat nasibnya.” Enyak pun kembali, melanjutkan tangisan yang tadi sempat tertunda.
“Istigfar, Nyak. Sesungguhnya segala sesuatu yang menimpa kita semuanya atas kehendak Allah. Jadi Enyak yang sabar ya, doain Leha terus agar diberikan jodoh paling baik menurut Allah. Leha yakin, Nyak. Allah kaga ada tuh salah alamat ngasih ujian ke hamba-Nya. Insyaallah semua ini akan kita lalui bersama, Nyak.” Gue rangkul tubuh enyak dan tersenyum. Namun, mata tak seirama, ia malah mengeluarkan airnya dan membasahi pipi. Ah, hati ini sungguh tak bisa ditebak, kadang sok tegar, kadang rapuh, kadang cengeng.
“Ayo, Mi. Langsung aja kasih tau niat kita ke sini ngapain.” Tiba-tiba Melati nyeletuk sambil mengeluarkan sebuah map biru dari tasnya.
Seketika hati ini ingat map yang dulu pernah diberikan oleh bang Umar. Entah yang sekarang isinya apa. Bisa jadi surat jual beli tanah atau proposal pembangunan Masjid.
“Apa itu Ustadzah?”
Enyak ternyata lebih penasaran, ia pun mendekati Melati dan mencoba meraih map tersebut.
“Hm, jadi gini, Nyak, Leha, kedatangan kami ke sini untuk menyampaikan map ini dari Ustad Randi. Leha inget ya yang kemarin kita ketemu.”
Enyak menatap gue dengan pandangan yang seolah berkata, ‘Lehaaaa, jelaskan siapa Randi?’ Oke, gue pun hanya bisa menghela napas dan mencoba menyusun kalimat apa yang tepat untuk menyampaikan semuanya sama enyak.
“Hh, jadi gini Nyak, Leha kan kemarin cari tahu siapa dulu calon suaminya almarhumah Surti buat ditemuin dan minta nasihat ke dia sesama pernah batal kawin, nah ternyata dia itu Randi yang... dulu pernah suka sama Leha.” Gue turunkan intonasi suara dan mendekat ke arah enyak. Tapi ternyata percuma, enyak yang histeris langsung teriak.
“Apaaaa, anak SMA yang nekat nembak Lu itu? Yang dulu Lu pernah mimpi nikah sama dia?”
Ya Allah, rasanya pengen nyebur aja ke kali terus berenang bareng sama kecebong dan ikan pesut. Tatapan Ustadzah dan Melati seolah menghujam jantungku seolah mereka meminta penjelasan dari pernyataan enyak barusan. Gue hanya bisa menunduk dan melinting-linting tisu yang sebentar lagi bakalan jadi roti kepang.
“Leha, coba gimana jelasin semuanya sama Enyak.”
Enyak masih dengan kekagetannya. Dan gue ga berani tatap mata Ustadzah, apalagi Melati. Harus gue mulai dari mana coba ini?
“Juleha, coba saya mau dengar versi lengkapnya gimana, ini kok kayak cerita sinetron ya?” Terdengar suara tawa Melati yang mungkin tidak menyangka kisah cinta gue bakalan sedrama ini.
“Mpok, aku penasaran nih, kok bisa Ustad Randi dulu begitu?”
“Oke, oke, gini ya. Dulu, Leha ngelatih Paskira di sekolahnya Ustad Randi. Nah, ga lama Ustad Randi nembak Leha. Tapi Leha tolak karena saat itu dia masih sekolah dan posisinya juga saya udah punya pacar saat itu.” Gue hentikan penjelasan yang terdengar ngaco ini. berharap ada yang memotong tapi nyatanya mereka masih menunggu kelanjutannya, udah kayak nunggu cerita sinetron, deh.