Julia & Daun Ginkgo

Bentang Pustaka
Chapter #1

Julia & Daun Ginkgo Oleh: Ginulur Sekarningrum

Sebuah dinding di pinggir jalan kawasan selatan Kota Seoul tampak dipenuhi tempelan daun ginkgo kering. Daun-daun itu berisi tulisan-tulisan yang kebanyakan ditempel oleh remaja-remaja usia sekolah. Kebiasaan itu berawal dari sekelompok siswa SMP Haneul, tak jauh dari tembok berwarna kuning emas itu. Mereka menuliskan keinginan mereka pada dedaunan ginkgo yang jatuh dari pohon-pohon di sepanjang trotoar jalan. Awalnya hanya siswa SMP Haneul yang melakukannya. Namun, foto-foto dan video tentang dinding itu tersebar di dunia maya. Itu membuat banyak remaja di Kota Seoul ingin ikut menempelkan daun ginkgo kering dan menuliskan keinginan mereka. Kini dinding itu disebut Ginkgo Wall.

Langit tampak mendung siang itu dan sepertinya hujan akan turun. Seorang gadis kelas 1 SMP sedang melangkah di trotoar depan sekolahnya. Nama gadis blasteran Indonesia-Korea itu adalah Julia Han. Teman-temannya sering memanggil dia Han Juli. Dia tinggal berdua bersama ibunya di sebuah rumah kecil di pemukiman padat Kota Seoul. Ibunya bernama Alin, seorang wanita berkebangsaan Indonesia yang sudah lama menetap di Seoul sejak menikahi Han Sunggyu. Sayangnya, Han Sunggyu meninggal dua tahun lalu. Sekarang Alin tetap tinggal di Seoul dan bertahan hidup dengan mengajar les bahasa Inggris.

Juli memakai rok seragam warna krem dan kemeja putih dibalut jas cokelat. Dia berdiri di depan Ginkgo Wall dan memegang sehelai daun ginkgo, lalu mengambil spidol dari dalam ranselnya. Dia memberi perekat di belakang daun itu, lalu menempelkannya di antara sekumpulan daun yang hampir semuanya berisi tulisan Hangul1. Hanya ada beberapa daun berisi tulisan latin. Juli selalu menulis menggunakan bahasa Indonesia pada daun-daun yang dia tempelkan setiap hari, “Aku ingin bertemu Appa2.”

Setelah menempelkannya, Juli berjalan ke halte bus sekitar 100 meter dari Ginkgo Wall. Tak lama setelah sampai di halte, sebuah bus berhenti di depannya dan dia segera naik.

Juli duduk di kursi deretan tengah, di dekat jendela. Dia menatap jalanan yang mulai dibasahi air. Tak lama kemudian, hujan turun dengan deras, membasahi dedaunan kuning keemasan pada akhir musim gugur itu. Gadis itu ingin menangis karena merindukan ayahnya. Dia pun tak mampu menahan air matanya.

Dari sudut kanan belakang, seorang bocah lelaki yang mengenakan seragam bercorak sama sedang memperhatikannya. Bocah bermata sipit dengan kulit putih pucat itu bernama Lee Daehyun, teman satu kelas Juli.

Juli minta berhenti di dekat jalan menuju kompleks pemukiman yang dia tinggali. Dia segera menepi di bawah pohon demi menghindari hujan dan menatap langit yang gelap.

“Appa, apa di surga juga hujan?” gumamnya.

Dia mau melangkah menembus hujan. Namun, gadis itu merasa sikutnya ditahan seseorang. Dia menoleh dan mendapati Daehyun di dekatnya.

“Lee Daehyun?” tanya Juli.

Daehyun tersenyum kecil melihat gadis berambut sepunggung dengan poni lurus itu. “Hei, jangan hujan-hujanan. Nanti sakit.”

Juli menengadah, dia baru sadar Daehyun sudah memayunginya. Juli tersenyum melihat payung kuning keemasan itu. Daehyun meraih tangan Juli dan memberikan payungnya.

“Pakailah,” ucap Daehyun.

“Eh?” Juli malah bengong. “Kamu bagaimana?”

Daehyun tersenyum. “Rumahku di pinggir jalan. Perlu naik bus lagi sekitar lima menit dari sini.”

“Gomawo3, Lee Daehyun,” ucap Juli.

“Ne4. Aku pergi dulu, ya,” ucap Daehyun begitu melihat bus mendekat. Dia segera menghentikannya. “Jalga5!” pamitnya.

Juli melanjutkan perjalanan menuju rumahnya. Tubuhnya terlindungi dari air karena payung itu. Gadis itu berjalan cepat menyusuri jalanan menanjak di antara rumah-rumah sederhana. Sampai langkah ke-176, dia sampai di depan rumah. Dia menaruh payung di luar pintu dan mengeluarkan kunci untuk membuka pintu. Ibunya belum pulang saat itu.

***

Daehyun tampak duduk sendiri di pojok belakang bus. “Kenapa aku harus memberikan payung itu untuk Juli?” tanya Daehyun pelan.

Tak ada seorang pun duduk di kursi paling belakang itu. Namun, Daehyun bisa melihat seorang lelaki duduk di sampingnya memakai kemeja putih dan celana abu-abu tua.

Pria berambut hitam itu memancarkan cahaya dari tubuhnya. Dia tak bisa dilihat sembarang manusia. Dia punya hidung mancung dan mata biru tua. “Dia akan diuji,” ujar pria itu.

Daehyun menatap pria itu tidak mengerti. “Maksudnya?”

Pria itu tersenyum, “Temanku sedang menyamar menjadi manusia dan akan mengujinya. Kalau dia lolos, dia akan mendapatkan keinginannya.”

Daehyun tersenyum tenang. Bocah lelaki itu sudah lama berteman dengan pria yang mengaku sebagai peri langit. Sebenarnya, peri langit itu yang menyuruh Daehyun untuk mengajak teman-temannya menempelkan daun ginkgo kering berisi keinginan. Peri langit berkata bahwa manusia yang sungguh-sungguh berdoa akan mendapatkan keinginannya.

***

Juli sudah mengganti seragamnya dengan celana panjang biru dan hoodie putih bergambar Infinite, boyband Korea. Dia duduk di depan meja kecil di ruang tengah dan membuka tutup mangkuk ramyeon6. Juli mengambil gulungan mi yang sudah matang dengan sumpit. Dia menyalakan TV, lalu menontonnya di ruang lesehan yang kecil itu. Di rumah kecilnya hanya ada satu kamar tidur, satu kamar mandi, dapur kecil, dan ruangan tengah.

Lihat selengkapnya