Di antara bangunan-bangunan mungil dan jalan yang berwarna cokelat muda, tampak seorang gadis bertubuh kecil yang membawa keranjang mungil. Dia menapaki jalan tersebut dengan sepatunya yang terlihat kotor. Gadis tersebut memiliki rambut panjang yang sewarna dengan dedaunan musim gugur. Rambutnya dikepang rapi, jatuh di bawah kedua telinganya. Dia mengenakan rok biru yang penuh tambalan, kemeja putih, serta rompi hitam.
Nama gadis itu adalah Helen. Setiap hari, gadis berumur 11 tahun itu mengantarkan beberapa bongkah roti hangat buatan ibunya kepada tukang roti yang baik hati. Itu dilakukannya untuk membantu ibunya menafkahi keluarga. Dia adalah anak yang rajin dan manis. Banyak orang di kota kecil tersebut mengenal dan menyukainya.
Helen melewati sebuah toko bunga yang terlihat indah. Seorang wanita cantik berambut pirang dan mengenakan rok yang bagus sedang merangkai beberapa tangkai bunga mawar di etalase toko.
“Selamat pagi, Bu Lily!” sapa Helen sambil melambaikan tangannya kepada wanita tersebut.
Ibu Lily balas melambaikan tangan dan berkata, “Selamat pagi, Manis. Aku tak sabar menikmati roti lezat buatan ibumu!”
Setelah menyapa Ibu Lily, Helen melewati toko permen kecil yang dicat dengan warna terang. Tampak Pak Alex, sang pemilik toko permen, sedang menyapu halaman depan tokonya. Helen dapat melihat jajaran permen lolipop warna-warni yang menarik. “Selamat pagi, Pak Alex!” sapa Helen kepada Pak Alex yang baik hati itu.
“Oh, selamat pagi, Helen! Aku punya sebatang permen khusus untuk Si Manis pengantar roti,” ujar Pak Alex. Beliau masuk ke tokonya dan keluar membawa sebatang permen lolipop berwarna pelangi, lalu menyerahkannya kepada Helen. “Ini untukmu,” kata Pak Alex.
“Wah, terima kasih, Pak Alex!” seru Helen senang.
Helen pun sampai di toko Pak Howard, Si Tukang Roti. Lonceng berbunyi ringan saat Helen membuka pintu. “Selamat pagi, permisi, Pak Howard!” sapa Helen dengan ceria. Helen disambut dengan lemari kaca pajangan berisi roti-roti berbagai bentuk dan kue-kue yang lezat. Helen selalu menyukai roti Pak Howard karena bentuknya yang lucu, seperti berbentuk hati, bintang, kucing, kura-kura, ataupun berbentuk topi berhiaskan gula warna-warni. Menurutnya, itu sangat unik dan menarik.
Pak Howard yang bertubuh besar dan berkumis tebal menyambut Helen. “Wah, Helen manis datang juga!” ujarnya. Sudah merupakan kebiasaan bagi Pak Howard untuk menyebut Helen “manis”. Menurutnya memang seperti itu.
Helen menyerahkan keranjang rotinya kepada Pak Howard. “Roti ini dijamin lezat, Pak,” celetuk Helen dengan mata masih tertuju pada jajaran biskuit berlapis gula berwarna cerah di etalase toko.
“Tentu saja. Ibumu memang pembuat roti yang andal. Tak percuma aku membekalkannya bahan-bahan roti yang berkualitas baik!” balas Pak Howard. Tangannya yang besar menata roti buatan ibu Helen dengan rapi di etalase toko. Setelah selesai, Pak Howard menyerahkan keranjang kecil Helen dan memberinya sebuah biskuit berbentuk hati yang dilapisi gula berwarna merah muda dan permen warna-warni. Ukurannya sebesar telapak tangan Helen dan bau menteganya sungguh menggiurkan.
“Terima kasih, Pak Howard,” ucap Helen dengan ceria. Gadis itu meninggalkan toko roti Pak Howard dengan langkah-langkah ringannya.
Saat Helen hendak meninggalkan kota, dia sempat melihat ke arah sekumpulan anak perempuan yang mengenakan rok bagus dan kemeja berkancing hitam. Seragam sekolah. Helen sempat merasa iri kepada mereka yang bisa menuntut ilmu di sekolah. Helen tidak bisa bersekolah karena dia harus membantu ibunya di rumah. Sesungguhnya, Helen sangat ingin menikmati sekolah. Mengenal matematika, membaca buku-buku yang membantunya lebih banyak mengenal dunia di luar sana, bermain dengan anak-anak seusianya, dan memperhatikan pengajaran guru yang bijaksana.
Langkah Helen terhenti di depan sebuah toko yang terlihat asing baginya. Dinding luarnya dicat dengan warna ungu tua. Jendela lebar yang berdebu menghiasi dinding gedung tersebut. Di atas pintu kayu hijau tua, ada papan yang bertuliskan “TOKO ANTIK SIHIR”. Toko tersebut terlihat mengerikan, tetapi membuat Helen penasaran. Gadis tersebut memberanikan diri untuk membuka pintu toko tersebut.
Helen terbatuk saat debu beterbangan di depan wajahnya, membuat hidungnya gatal. Toko tersebut dipenuhi oleh rak-rak raksasa berisi bermacam-macam benda yang terlihat asing bagi Helen. Sebuah jendela berbentuk lingkaran besar di langit-langit toko memberikan jalan masuk untuk cahaya matahari, membuat ruangan tersebut terlihat lebih terang. Meja kasir terletak di sisi ruangan, dipenuhi oleh buku-buku yang kertasnya mulai menguning dan ada juga sebuah pena bulu. Helen berusaha menjernihkan tenggorokannya dan memanggil, “Permisi. Adakah orang di sini?”
Tak ada jawaban. Tampaknya tidak ada orang di toko itu. Helen yang dipenuhi rasa penasaran pun berjalan melewati rak-rak yang ada di toko tersebut. Arloji, jam saku, kotak musik, trompet, dan benda-benda lain yang terlihat asing bagi Helen tertata dengan rapi di rak pertama. Helen merasa penasaran dengan bola kaca berisi boneka Sinterklas yang terlihat lucu. Namun, dia memutuskan untuk tidak memegang apa-apa.
Tiba-tiba, Helen merasakan seseorang ada di belakangnya. Gadis itu melihat samar-samar seorang wanita berambut panjang di depannya. “Aaah!!” jerit Helen, membuat wanita di depannya ikut melonjak.
“Aduh .... Tenanglah, Gadis Kecil! Aku tidak semenyeramkan yang kau kira!” suara melengking wanita berkata.
Helen mengatur napasnya dan melihat sosok wanita di depannya lebih jelas. Wanita itu bertubuh tinggi, bahkan tinggi tubuh Helen tidak sampai ke dagunya. Wajahnya terlihat pucat, dengan tulang pipi tinggi, sepasang mata hijau yang dipulas dengan warna ungu gelap, bibir semerah mawar, dan garis hitam tebal terlukis di bawah matanya. Wanita itu mengenakan gaun panjang merah marun, dengan garis-garis emas di sana sini. Rambutnya hitam, samar terlihat bercampur ungu. Keriting dan jatuh berantakan di depan wajahnya. Rambut dan kukunya yang panjang dan diwarnai ungu tua membuat Helen menilai wanita itu menyerupai penyihir jahat di negeri dongeng.
“Saya ... pe ... pergi dulu,” kata Helen ketakutan.
Wanita tersebut dengan lembut menarik tangan Helen. Helen terkesiap dan mempersiapkan diri untuk kabur. “Tenanglah, Sayang. Bagaimana kalau kau coba untuk melihat koleksiku ini? Lagi pula, aku tidak memiliki pengunjung,” kata wanita tersebut dengan suara menenangkan. Sinar matanya yang hangat membuat Helen percaya kepadanya.
Helen pun melihat-lihat sekeliling toko tersebut. Akhirnya, ada sebuah barang yang menarik hatinya. Sebuah kalung emas berliontin bunga matahari yang besar, berhiaskan batu zamrud di sisinya. Oh, indahnya! Helen meraih kalung itu dengan perlahan, merasakan indahnya emas di jemarinya. Tiba-tiba cahaya keemasan menyorot tubuh Helen, membutakan matanya. “Aaah!!” jerit Helen, berusaha menutup matanya.
Helen segera menjatuhkan kalung tersebut. Setelah cahaya terang tersebut menghilang, Helen membuka matanya. Dia melihat wanita pemilik toko terlihat sangat kaget. Jari-jarinya yang panjang mencengkeram rak kayu. “Ma ... maaf, saya tidak ta ... tahu,” Helen tergagap, merasa apa yang terjadi kepadanya merupakan kesalahannya. Sebenarnya dia sendiri begitu bingung tentang apa yang terjadi dengan kalung tersebut.
Wanita pemilik toko menggeleng, lalu mendekati Helen. Dengan lembut, telunjuknya mengangkat dagu Helen yang menunduk, lalu memeluknya dengan heboh. “Kau adalah Penangkap Cahaya, Sayang! Akhirnya aku menemukanmu!”
Di tengah kebingungan Helen, keanehan pun terjadi. Helen melihat beberapa patung batu mulai terkikis dan muncullah sinar-sinar yang terang. Helen terkesiap ketika dia melihat sosok-sosok bersinar di depannya. Sosok-sosok yang bukan tergolong manusia dan sangat memesona. Ada seorang gadis yang terlihat dua tahun lebih tua daripada Helen. Wajahnya sangat cantik. Matanya sewarna dengan dedaunan dan rambutnya seperti diwarnai oleh sinar matahari. Gaun selutut berwarna keemasan membungkus tubuhnya.
Ada lagi seorang lelaki gagah dengan rambut sewarna pasir yang jatuh di kerah kemeja hijaunya. Hidungnya mancung dan sorot mata hijaunya tajam. Telinganya mirip seperti telinga makhluk elf yang ada di dongeng. Ada seorang lagi yang terlihat begitu mengagumkan. Seorang wanita anggun dengan kulit penuh titik berkilau, seakan dia mandi di bawah guyuran cahaya. Rambutnya kecokelatan dengan semburat emas. Matanya mengagumkan sekaligus aneh dengan warna keemasan. Ada sayap tipis keperakan di punggungnya.