Jumat Bersama Ayah

Dani Yuliadi
Chapter #1

C.1 Buli

Suasana tidak biasa, peristiwa itu selalu terngiang-ngiang di kepalaku. Kala mobil ini berhenti di perempatan jalan. Aku melihat keramaian anak-anak. Mungkin ada orang kecelakaan. Aku bergegas. Bukan main! Pikiranku melayang.

"Fajri yatim, Fajri yatim. Enggak punya bapak, enggak punya bapak." Suara ramai anak-anak berseragam sekolah dasar yang sedang berkumpul di tepi jalan.

Suasana agak ganjil. Pasalnya mereka berkumpul melingkari satu orang anak yang hanya diam membisu. Apalagi mendengar kata-kata yang baru saja ramai-ramai mereka ucapkan. Hatiku menjadi panas.

"Heh! Fajri, kamu tu sudah tidak punya ayah, jadi jangan belagu. Haha."

Suara tawa mengiri olokan, "Bener banget. Mamamu sekarang jadi janda ya? Jadi incaran brondong dong," lonjakan tawa makin menjadi.

"Hei, apa yang kalian lakukan?!" Aku bertanya setengah marah. Dahi mengkerut, mata melotot, dan bahu yang lebar membuat anak-anak itu terkejut.

"Eng-gak kenapa-kenapa kok om," ucap salah satu anak. Setelah melihatku dari atas sampai bawah. Dia menepuk-nepuk pundak kawannya.

"Jangan bohong, aku dengar kalian mengolok-olok dia kan?" Aku menunjuk anak kecil berkulit putih dengan rambut ikal berwarna kecoklatan yang khas.

"Enggak om beneran. Kami hanya bercanda saja," bela rekannya dengan wajah memelas.

"Om dengar ya apa yang kalian ucapkan barusan," mataku terus melotot ke arah bocil-bocil.

"Kalau kalian sekali lagi menghina teman kalian seperti itu, akan Om cari kalian dan Om bawa ke kantor. Mau?" seruku galak.

"Iya Om, kami enggak akan mengolok-olok teman kami lagi," ucap salah satunya.

Mereka berbisik-bisik, "Ayo kita kabur aja. Aku takut sama om polisi ini. Nanti kita malah di tangkap." Teman-temannya senada setuju dengan usul itu.

Aku yang mendengar bisikan mereka, "Dengar anak-anak. Membuli teman kalian bisa masuk penjara dengan hukuman sepuluh tahun penjara!"

Aku mengambil pistol yang ada di saku celana sebelah kiri, "Sepuluh tahun Om." Mereka menelan ludah. Melihat aku mengambil pistol tanpa pikir panjang,

"Kabur!" Mereka lari terbirit-birit. Aku tertawa lepas. "Dasar bocil kematian. Untunglah mereka percaya. Semoga mereka tidak lagi membuli teman-teman yang sedang mengalami kesulitan dan kekurangan apa pun itu." Aku menghela napas lega. Terlihat anak yang di buli itu masih terpaku membisu.

"Kau baik-baik saja, Nak?" tanyaku.

"A-aku baik Om polisi," jawabnya terbata-bata.

"Kalau ada yang mengganggumu lagi atau mengejekmu lagi. Bilang saja, kau punya paman seorang polisi." Dia tersenyum lega.

"Terima kasih Om. Aku senang punya paman polisi," tuturnya sembari air mata menetes pelan.

Lalu dia menghapusnya.

"Rumahmu ada di mana? Biar om antar. Namamu Fahri kan?"

"Fajri Om, Iya Om. Rumahku ada di..."

"Oy Rama! Kau dari mana saja hah? Aku mencarimu dari tadi." Sesosok petugas berteriak dari seberang jalan.

"Aku berpatroli," sahutku. Itu adalah Riski, rekan kerja sekaligus sahabat.

Riski mendekat ke arah ku. Kami menuju mobil polisi tidak jauh dari sekolah. "Ayo naik Fajri." Dia mengangguk.

"Hei, mengapa kita mengantar bocil ini?" Riski penasaran. Dia ini memang spesialisasi penasaran alias Kepo.

"Dia tadi habis di buli dengan teman-temannya. Aku tidak tega, jadi menolongnya," kataku berbisik. Takut Fajri mendengar.

"Rumahku sebelah sana Om." Tunjuknya pada rumah mewah yang jarak antara rumah dan pagarnya mungkin ada seratus meter. Rumah gedongan mungkin ada empat lantai. Taman terhias indah, mobil mewah bejejer banyaknya. Anak ini bukan anak sembarangan. Tapi anak ini tidak punya kawan. Kasihan, dalam batinku.

Terkadang orang punya materi atau hal berharga dengan melimpah. Tapi ada hal yang kurang dalam hidupnya. Kadang juga ada orang yang tidak punya apa-apa. Tetapi lengkapnya hidup ada padanya.

"Terima kasih Om atas tumpangannya. Aku masuk dulu, hati-hati di jalan," ucapnya santun. Aku hanya mengangguk mengiyakan.

Mobil patroli berjalan lagi. Aku hanya diam membisu selama perjalanan. Riski terus mengoceh tentang... entahlah. Apa pun bisa di bahas oleh sahabatku ini.

Aku teringat sesuatu dengan Fajri, dia sedang bermasalah. Sepertinya dia adalah korban dari orang tuanya. Aku ingin bertanya lebih detail tadi. Tapi rasanya canggung untuk mengobrol hal-hal sensitif. Apalagi dengan anak kecil. Tapi mungkin anak itu lebih beruntung daripada diriku. Aku yang, "Anak sekecil itu berkelahi dengan Mahmud," ucap Riski menyanyikan tren yang lagi viral di sosial media. Aku hanya tertawa melihat kelakuaan rekan kerja yang juga sahabat karib. Walaupun dulu kami bagai air dan minyak.

**

Cahaya putih bersinar menatap nanar mata Rama. Peristiwa yang pernah terjadi dan tidak ingin dia ulang kembali. Rahasia terdalam Rama, bahwa dirinya juga pernah menjadi korban pembulian. "Rama tidak punya ayah!" Kata-kata itu selalu menyakiti hatinya. Malam ini kejadian itu terpampang lagi, jelas di depan matanya.

“Kasihan! Ada orang yang tidak punya ayah.”

“Mana orangnya?”

“Itu,” menunjuk kepadaku.

"Tidak! Aku punya ayah!" seru Rama. Lalu mereka tertawa.

 "Tidak! Aku punya ayah!" kata-kata ini terus diucapkan, kencang, dan berkali-kali.

Rama tersentak dari tidurnya. Perlahan bangun. "Aku benci sekali. Kenapa kejadian itu datang lagi!" Kekesalannya membuat air mata mengalir mengenai selimut biru bermotif batik. Setelah sekian lama luka itu terobati. Kini harus bergelut kembali dengan masa lalu yang ia simpan sendiri.

**

Kita ingin mendapatkan yang terbaik dalam hidup. Tapi kadang Tuhan berkehendak lain. Pilihan-pilihan sulit harus dipilih. Tidak ada kenyamanan di setiap pilihan. Misalnya, aku ingin rumah yang besar dengan keluarga lengkap yang bahagia. Mungkin Tuhan memberikan rumah besar tapi tidak bahagia seperti yang Fajri rasakan. Dan aku?

Rumah mungil pernah menjadi saksi. Walaupun kecil. Tapi mempunyai halaman yang luas. Aku biasanya bermain di bawah pohon mangga bersama ayah, sedangkan ibu membawakan makanan ringan dan secangkir kopi panas untuk ayah. Siapa yang tidak bahagia melihat keluarga rukun, ayah dan ibu lengkap. Peristiwa ini adalah peristiwa paling indah dalam hidupku. Akan aku kenang selamanya.

Tapi Tuhan berkata lain. Rumah mungil tidak akan menjadi besar, tidak pernah. Keluarga bahagia juga mungkin tidak tercapai. Aku baru saja pulang sekolah. Saat itu usiaku masih terbilang sangat muda. Tujuh tahun tepatnya. Rumah yang mungil, biasanya hangat dengan semilir angin. Entah mengapa, tiba-tiba rasanya sangat panas.

Dari jendela aku melihat ayah dan ibu sedang berbicara. Siluet mereka berdua tampak begitu jelas. Aku tidak paham apa-apa saat itu. Mungkin hanya percakapan biasa. Lalu, Ayah menampar ibu. Aku terkejut bukan main, langsung masuk ke dalam rumah. Ibu jatuh tersungkur.

"Ayah mau ke mana?" tanyaku lembut.

"Ayah mau pergi sayang. Kamu mau ikut ayah kan?" Jawabnya dengan raut wajah yang berubah dari marah menjadi halus. Membelai wajahku lembut.

"Tapi aku maunya sama ayah dan ibu." Wajah memelas keluar dariku.

"Ya sudah, kau bersama ibumu saja! Ayah akan mengunjungimu lagi, sampai jumpa!" Ayah marah, perubahan sikapnya sangat kental, dan sepintas saja mengambil tas besar dan koper.

"Ayah, ayah jangan pergi," rengekku.

Tapi ayah tidak mendengar dan langsung pergi. Tanpa melihat ke belakang—sedikit pun tidak, bahkan menolong ibu yang tersungkur di lantai. Bahkan ia sedang menangis.

Aku mengejar sampai ke halaman. Terlambat, dia sudah pergi menggunakan mobil. Aku bahkan tidak tahu ayah punya mobil. Padahal dari dulu aku ingin jalan-jalan bersama ayah menggunakan mobil. Aku teringat ibu masih tersungkur di lantai. Aku kembali ke dalam rumah. Ibu sudah berdiri. Dia mencoba menahan rasa sakit.

"Ibu, ibu tidak apa-apa kan?" Ibu hanya mengangguk dan masuk ke dalam kamar. Jelas aku mendengar tangisnya pecah. Aku bingung harus bagaimana.

Sementara nenek hanya diam saja. "Rama ayo makan dulu," ucap nenek seakan tidak terjadi apa-apa.

"Baik Nek." Aku berusaha mencerna setiap kejadian. Tapi aku tetap tidak paham.

"Nek, kenapa ayah pergi nek, mengapa ibu menangis, dan mengapa ibu di tampar ayah nek?" tanyaku sambil memasukkan makanan.

"Sudah Rama. Kamu tidak usah banyak bertanya." Nenek terdengar kesal, diam sejenak. Dia mengelus kepalaku, "Suatu saat kamu akan mengerti," lanjutnya.

Bayangan pohon mulai hilang. Anak-anak yang bermain sudah pulang. Karena di suruh oleh orang tuanya. Pemandangan biasa, di desaku. Memang anak-anaknya suka bermain sampai sore. Sampai-sampai tidak ingat waktu. Sebenarnya aku tadi di ajak main sama Riski. Tapi aku ingin menunggu ayah pulang. Tapi sampai azan magrib berkumandang ayah belum juga pulang.

Bergegas aku pergi ke masjid untuk mengaji. Satu lagi, setelah bermain puas seharian. Kami biasanya akan mengaji di masjid setelah salat magrib. Mungkin jika aku sudah selesai mengaji, ayah akan pulang.

Di perjalanan menuju masjid, Riski dan beberapa kawan menghampiriku.

"Rama, katanya ayahmu minggat dari rumah ya?" Ada beberapa dari mereka tertawa dan aku melihat Riski dan Niko tidak, bahkan terlihat peduli.

Aku bingung harus menjawab apa, untunglah iqomah sudah berkumandang. Jadi buru-buru kami pergi ke masjid. Atau akan terlambat salat magrib.

Kami mengaji seperti biasa. Aku sedikit gelisah, sudah isya begini ayah sudah di rumah belum ya? Aku sedikit melamun.

"Ma ayo pulang." Riski membangunkan lamunanku.

"Oh, iya iya." Kami pulang seperti biasa. Penuh canda dan Senda gurau khas bocah.

"Bye, Riski." Rumahku memang paling jauh dari teman-teman yang lain. Jadi aku sendirian saat pulang. Tapi itu sudah biasa.

Beberapa ibu-ibu tidak biasanya berkumpul di satu rumah malam-malam. Kecuali ada orang pesta atau ada musibah. Pandangan sinis apa ini. Aku sangat tidak nyaman. Mereka memandangiku dan berbisik-bisik. Aku tidak ingin narsis. Mungkin aku bukan yang mereka bicarakan. Tapi terselip lembut mereka menyebutkan namaku. Aku harus cepat pulang!

Lampu rumah yang redup. Itu biasa, tapi wajah nenek redup itu berbeda.

"Kenapa nenek di luar sendirian?" wajahnya bingung menatap langit yang sudah gelap gulita. Hanya ada pelita di ujung jalan ketika malam tiba.

Lihat selengkapnya