Jumat Bersama Ayah

Dani Yuliadi
Chapter #2

TIDAK APA-APA KAN?

Sekolah ramai dengan para wali murid. Terutama untuk pembagian rapor kenaikan kelas. Aku menunduk murung. Aku menatap ibu guru. Tapi tidak mampu, tatapan mata kami beradu. Aku menunduk tidak berani. Tatapan ibu guru seakan-akan mencurigai. Tahu bahwa aku tidak membawa satu orang pun. Aku ingin jelaskan, bahwa orang tuaku tidak bisa hadir. Terlambat, ibu guru sudah berbicara dengan wali murid yang lain.

“Rama, di mana orang tuamu?” selidik ibu guru.

“Mereka tidak bisa hadir bu.”

“Surat kemarin sudah kamu kasih kan? Ini penting loh.” Untunglah ibu Riski membantuku.

“Saya dititipkan oleh ibunya, ibu guru. Orang tua Rama harus bekerja. Jadi tidak ada yang bisa hadir.” Seru ibunya Riski.

Aku beruntung, masih ada orang yang membantu. Tapi dalam hati kecilku. Aku ingin orang yang hadir itu adalah ayah atau ibuku sendiri.

“Baiklah. Mari kita umumkan. Juara tiga jatuh kepada Riski...” tepuk tangan bergemuruh. Ibu Riski maju menemani Riski mengambil rapor beserta hadiahnya.

“Lanjut juara dua yaitu ... Deni,” riuh tepuk tangan bergema kembali.

“Terakhir, juara satunya adalah ... Aziz!” tepuk tangan lebih kencang. Khususnya kedua orang tua Aziz yang datang lengkap. Mencium Aziz mesra. Oh, sungguh aku sangat iri.

Ibu Riski mengambil raporku. Aku menjadi juara empat, tapi dari belakang. Nilaiku sangat turun. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Padahal aku sudah berusaha keras untuk belajar. Tapi untunglah aku masih naik kelas. Itu sudah cukup. Semoga ibu tidak marah.

Anak-anak lain di jemput pulang oleh orang tuanya. Tinggal aku sendiri yang menunggu bus jemputan. Dan ada beberapa kakak tingkat yang juga menunggu. Mungkin kelas enam. Wajahnya sama kusutnya denganku.

Pikiranku kacau. Hari ini pernikahan ayah? Kenapa ayah menikah lagi? Ibu marah, nenek juga, kenapa ayah meninggalkan kami? Oh dan banyak lagi pertanyaan yang menyerang isi kepalaku.

“Uy Dik. Menunggu bis juga ya?” seseorang menyapa.

“Iya kak,” jawabku pendek.

“Siapa namamu?” tanya seseorang yang cungkring itu.

“Rama kak, kakak?”

“Aku Dedi, ini Alex, dan ini Kevin.” Dia menunjuk kepada temannya satu berambut ikal. Dan satunya berbadan gempal.

“Oh, aku tahu. Rumahmu yang di ujung gang kan?” ucap Kevin.

“Iya itu lagi ramaikan di bicarakan sama ibu-ibu, katanya ...” Dedi menginjak kaki Alex.

“Apa kata ibu-ibu itu kak?” aku penasaran.

“Tidak ada Rama.” Dedi merangkul punggungku.

“Kamu mau coba ini enggak?” dia menunjukkan sebungkus rokok kepadaku.

“Aku kan masih kecil kak. Enggak boleh merokok.”

“Shuut. Jangan keras-keras. Ini enak tahu,” dia terus berbisik-bisik padaku.

“Enggak mau kak. Nanti ibuku marah. Kalau tahu.”

“Cobain deh sekali. Pasti kamu ketagihan,” seru Kevin.

Aku tidak sadar, bis itu sudah tiba sejak tadi. Tapi aku malah berurusan dengan anak-anak kelas enam yang sedang menawari aku barang haram.

Aku masih menolak tawaran mereka. “Oh, enggak mau ya. Kevin pegang, jangan sampai anak ini kabur.”

“Lepaskan aku, lepas kak!” aku berontak. Kevin menahan aku. Sementara Dedi dan Alex menaiki bis. Bis sudah berjalan. Kevin mengejar mereka. Aku juga tidak kalah. Tapi kecepatan bis tidak bisa aku kejar. Lain dengan Kevin yang badannya besar. Sial! Aku harus jalan kaki pulang.

“Kakak tingkat resek!” Seru ku. Bis berjalan meninggalkan aku sendirian.

“Berapa lama kira-kira kalau aku jalan kaki. Apa aku mencari tumpangan saja. Tapi aku takut, nanti di culik lagi. Sudahlah jalan saja!” aku kesal dengan diriku sendiri.

Kakiku rasanya mau copot. Aku sampai pada saat magrib. Ibu sudah berangkat kerja lagi, mungkin. Tapi kenapa tidak sedikit dia mencari aku. Atau setidaknya menghawatirkan anaknya yang belum pulang. Nenek melihatku payah dengan keringat bercucuran. Baju kotor, muka comot terkena debu. Kenapa ibu Riski tidak mengajak aku pulang sekalian. Jika memang dia yang mengambil raporku. Tidak meninggalkan aku sendiri. Tapi permainan saling menyalahkan tidak berguna!

“Jam segini kok baru pulang Rama!” nenek marah.

“Aku ketinggalan bis nek.”

“Apa? Bagaimana bisa?” nenek sepertinya tidak akan memberikan jeda.

“Aku diganggu oleh kakak kelas nek.” Nenek menggeleng tidak percaya.

“Jangan bohong Rama!”

“Aku tidak bohong nek! Aku jalan dari sekolah...” aku tidak kuasa untuk mengungkapkan isi kepalaku. Cepat-cepat aku mandi dan salat magrib. Aku tidak ke masjid. Sudah dua hari aku tidak mengaji.

Nenek sepertinya melihat aku melamun, dia menghampiriku.

Lihat selengkapnya