Termenung sebentar. Tubuh Yura memang masih berada di kamar Bibi Cici tetapi tidak dengan pikirannya yang menelangsa kejadian beberapa tahun lalu yang tiba-tiba saja muncul. Kepalanya terasa sakit bila dipaksa harus mengingat terus menerus, seperti amnesia.
Bibi Cici terus menatap Yura penuh harap agar bisa mengingat lagi ketika Yura hidup di Jeju bersama kedua orang tuanya. Tetap saja, Yura hanya bisa mengingat nama kedua orang tuanya dan kesibukkan mereka pada pekerjaan mereka. Yura sudah cukup ingat dengan itu dimana ia merasa kesepian begitu pula dengan Arganta yang harus putus sekolah karena ikut dengan Yura.
Yura merasa gagal hidup di Seoul bersama dengan adiknya itu karena membuat Arganta maniak alkohol dan juga putus sekolah pada saat itu. Ia bahkan tidak tahu siapa yang membiayai Arganta sekolah pada saat ini. Yura merasa itu adalah janjinya pada Arganta bahwa ia harus bisa membuat Arganta bersekolah lagi, namun sekarang Arganta bisa bersekolah yang biayanya entah dari siapa. Yura masih mempertanyakan hal itu pada dirinya sendiri.
Bibi Cici pun menambahkan bahwa dirinya pernah diasuh oleh Bibi Cici pada usia Yura yang menginjak 8 tahun. Anehnya, bibi Cici tidak menceritakan semuanya pada Yura, membuat pikiran Yura bekerja keras untuk mengingat-ingat daftar nama siapa saja yang terkumpul pada otaknya itu. Hanya beberapa orang terdekat dengan Yura saja bahkan Yura menambahkan Yunas karena ia bisa mengingat sedikit akibat buku bersampul hijau itu. Beruntung, Yunas tidak lagi marah karena Yura telah membacanya sampai habis.
Kesabaran bibi Cici sudah sampai dipuncak, ia tidak bisa lagi memaksa Yura mengingatnya, orang tuanya dan juga teman-temannya di Jeju. Yura bahkan lupa jika ia mempunyai teman yang banyak di Jeju, seingatnya Yura mempunyai teman yang bisa dihitung dengan jari. Tidak sebanyak Bibi Cici ceritakan padanya.
Yura menggelengkan kepalanya lemah, mendengus dengan kasar. "Shh... Maaf, aku belum bisa mengingat semuanya. Aku juga tidak tahu mengapa aku bisa melupakan semua itu. Aku tidak pernah kecelakaan dan aku tidak pernah mengalami amnesia apapun, tapi mengapa bibi masih terus memaksaku mengingat sesuatu? Apa yang harus aku ingat lagi?" Yura sampai bingung ketika bibi Cici mengucap ulang untuk terus mengingat pada Yura. Sementara, Yura tidak tahu apa yang harus ia ingat lagi. Apa ada kejadian penting yang belum Yura ingat?
"Maaf, bibi. Aku benar-benar belum bisa mengingatnya secara jelas. Aku hanya lupa saja, Yunas pasti akan mengingatkanku apa ada kejadian penting yang terlupakan olehku." Yura pun bangun dari kasur lalu berjalan keluar kamar itu kemudian bibi Cici menyusul Yura yang lebih dulu berjalan di depannya.
Mata Yura menangkap, seorang pria dengan kemeja hitam itu telah terlelap di sofa. Yura menghentikan langkahnya sebentar, lengan kemeja Yunas terkelin sampai menampakkan sikunya. Bahunya yang sedikit merosot sebab lelah(?) Dan rambutnya yang sudah acak-acakkan. Membuat Yura pangling sendiri, apa itu Yunas? Mengapa ia terlihat berbeda dengan yang di mobil? Batin Yura.
Yura kembali melangkahkan kakinya mendekat dan duduk di samping Yunas berniat membangungkannya. Tangan Yura terangkat untuk menggoncangkan tubuh Yunas pelan, "bangun. Aku harus pulang sekarang." Yunas mendesah pelan lalu membuka matanya perlahan melihat Yura yang berada di dekatnya.
Mata Yunas sedikit blur lantas ia pun mengusap kedua matanya guna mempertajam penglihatannya yang kabur. Tangan Yura yang dingin menyentuh lengan hangat Yunas yang membuat kedua pasang mata bertemu. Yunas pun memeluk Yura spontan karena ia melihat wajah Yura. Wajah yang Yunas dambakan sejak dulu saat mereka kecil. Dan sekarang Yunas telah menemukan gadis'nya'.
Yura yang terkejut lantas menyerah saja saat Yunas memeluknya erat seperti ia baru saja bertemu dengan orang yang ia rindukan. Begitu erat sampai Yura bisa merasakan hawa hangat yang menjalar padanya dan juga degup jantung yang berdebar. Semua Yura bisa merasakan itu, kepalanya masih setia menempel pada perpotongan leher Yunas. Aroma mint yang menguar itu mampu memabukkan Yura sesaat.