Mengerjapkan mataku berkali-kali agar penglihatanku semakin jelas. "Syukurlah, akhirnya kamu siuman." Suara wanita paruh baya itu menyadarkanku untuk segera bangun dari kasur miliknya mungkin(?). Kepalaku terasa berat jadi aku menyandarkan tubuhku pada headboard kasur itu.
"Minumlah," wanita paruh baya dengan wajah yang terdapat garis keriput wajahnya itu memberikan segelas air putih kemudian ia duduk di tepi ranjang sembari mengusap puncak kepalaku.
Aku pernah merasakan belaian seperti ini dulu, tapi dengan siapa ya? Batinku.
Aku menaruh gelas itu di nakas setelah meminumnya sampai habis. Perjalanan tadi benar-benar membuat tenggorokkanku menjadi kering. Mataku beralih menatap yang lebih tua dariku, "kamu pasti Yura kan?" Tanyanya yang aku balas dengan anggukkan pelan. Wanita itu terkekeh pelan dengan senyuman yang tak pudar di wajahnya.
"Senang bertemu denganmu, kamu bisa memanggilku bibi Cici." Ucapnya setelah mengusak puncak rambutku.
"Apa bibi itu yang memberikan flat house itu padaku? Benar? Saat 4 tahun yang lalu. Aku ingat wajah bibi soalnya." Tebakku kemudian wanita paruh baya yang bernama bibi Cici itu mengangguk sebagai balasan.
Flashback on
When Yura 15 years old with Arganta 14 years old.
Saat pertama kali pindah dari Kota Jeju menuju Kota Seoul. Yura dibingungkan oleh lokasi kota ini yang begitu luas dengan berbagai distrik yang tersebar. Bagaimana Yura bertahan hidup dengan adiknya di kota yang sama sekali tidak ada yang Yura kenal. Bagaimana cara memulai hidup di sana adalah pertanyaan mendasar dari Yura saat tiba di stasiun Seoul.
Tujuan utamanya kemari (seoul) adalah untuk sekolah yang Yura impikan sejak duduk di sekolah menengah pertama. Hanyang high school adalah sekolah yang Yura pilih sebagai terget utamanya ia berkorban untuk tinggal di Seoul ini sampai ia akan mendapat karir yang baik, merubah diri menjadi pribadi yang baik juga salah satu alasan kedua orang tua Yura yang setuju atas kepergiannya.
Orang tua Yura memang menyuruhnya pergi sendiri namun Arganta dengan tampang polosnya juga ingin bersekolah di sana nantinya. Yura tidak habis pikir mengapa orang tuanya malah menyetujui Arganta untuk ikut, sepertinya hidup sendiri saja sudah begitu sulit apalagi ditambah kehadiran adiknya yang ikut juga dengan Yura, batin Yura.
Hari keberangkatan pun tiba, Yura hanya bisa diam tanpa mengucapkan sepatah katapun karena kedua orang tuanya sudah tidak ada di rumah. Tidak menyiapkan apapun selain beberapa lembar uang di meja makan yang ditindih oleh gelas kosong.
Harusnya Yura tidak heran lagi. Tapi, mengingat hari ini jadwalnya berangkat Yura menjadi agak kesal dan sedih juga karena kedua orang tuanya tidak mengantarkannya di stasiun seperti orang tua lain yang melakukan itu pada anaknya apalagi diusia yang masih terlalu muda.
Cepat-cepat Yura mengambil uang itu lalu menyusul adiknya yang sudah siap di luar rumah yang sedang menunggunya. Setelah mengunci pintu--sengaja ia letakkan kunci di bawah karpet dekat pintu sama seperti amanat terakhir kali dari kedua orang tuanya itu--Yura dan adik segera masuk ke dalam taksi yang ada di depan rumah, entah sejak kapan taksi itu sudah stand by di depan rumah.
Taksi itu melaju menuju stasiun, Yura melihat begitu banyak tas yang ia bawa dan semua itu adalah keperluan sekolah, bajunya dan baju Arganta. Bahkan mereka berdua tidak menyempatkan diri untuk sarapan terlebih dahulu karena memang di rumah tidak ada makanan.
Berhenti di dekat minimarket stasiun membuat adik Yura mulai angkat bicara, "aku mohon isi perutku dulu sebelum berangkat." Dengan begitu Yura pun menghampiri minimarket itu dan membeli beberapa camilan saat di perjalanan dan camilan sisanya untuk mereka saat tiba di Seoul.