Pukul delapan pagi.
Itu artinya tiga puluh menit lagi aku sudah harus tiba di Rumah Singgah. Semenjak tadi, Wina sudah menelpon dan mengirim setumpuk pesan. Aku tidak perlu buang-buang waktu buat membacanya, itu sudah bisa ditebak, anak itu pasti sudah mengoceh sejak pagi-pagi sekali karena teleponnya tidak kujawab-jawab. Kalau semalam aku tidak begadang membantu Saka mengetik laporan yang akan ia kumpulkan pagi ini, aku juga tidak mungkin bangun setelat ini.
Aku memasukkan beberapa buku anak-anak ke dalam tas secara serampangan. Beberapa di antaranya adalah buku anak-anak yang kubeli kemarin. Sisanya adalah buku-buku sejak aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Aku sengaja menyumbangkannya ke Rumah Singgah, karena sembilan puluh sembilan persen aku yakin, Nino—adikku—yang setiap hari berkutat dengan buku-buku pelajaran sama sekali tidak menaruh minat untuk sekadar meliriknya—apalagi membacanya. Di usianya yang masih sebelas tahun, bayangkan saja bacaannya adalah buku-buku milik Haruki Murakami—alih-alih buku bergambar bebek dan kancil yang kupegang ini.
Aku menyampirkan ransel ke bahu sambil sejenak mematut diri di depan cermin, menguncir rambut lalu memoles sedikit bedak tabur di pipi dan langsung memasang topi bertuliskan Rumah Singgah berwarna merah jambu, senada dengan kaos abu-abu yang kukenakan. Selera Wina memang terlalu kecewekan. Padahal aku sudah protes untuk tidak memakai warna itu untuk desain topi, tetapi karena alasan bahwa merah jambu itu lucu baginya, aku terpaksa mengalah.
Di ruang tamu, langkahku tertahan karena Ibu yang tiba-tiba datang di depanku sambil berkacak pinggang, "Kamu sudah dua puluh satu lho, An. Kalau mau keluar belajar pakai lipstik kenapa, sih? Itu bibir kamu pucat begitu."
Sebelum aku berkata apa-apa—atau sekadar menolak, Ibu sudah mengoles jempolnya ke bibirnya sendiri—yang omong-omong berlipstik karena akan pergi ke acara nikahan tetangga—lalu diusapkannya sedikit ke bibirku.
"Tuh kan, Anna jadi tambah cantik." Ucap Ibu gemas.