Dua puluh menit perjalanan, motor yang kutumpangi akhirnya berhenti di depan Rumah Singgah. Ternyata di sana sudah ramai, ada banyak anak-anak sekolah yang datang dan beberapa mahasiswa seusiaku, mungkin teman-temannya Wina. Aku memang tidak terlibat sama sekali dengan urusan undangan, Wina yang lebih gercep mengurus hal begituan. Aku hanya bertugas membeli beberapa perlengkapan untuk acara korespondesi anak-anak Rumah Singgah dan sisanya terima beres saja.
Setelah membayar ongkos ke Mas Ojek, Wina segera muncul dengan kaos dan baju yang sama persis dengan yang kukenakan. Ia menyambutku dengan semprotan yang luar biasa, "ANNA! Ini sudah jam berapa tahu enggak! Kamu tuh ya kebiasaan enggak on time. Ketularan si Saka nih, kamunya aja yang enggak sadar-sadar."
Oh, itu. Wina memang suka agak berlebihan kalau sudah mengenai ketepatan waktu. Kalau soal Saka, ya sebelas-duabelaslah dia dengan Ibu, sama-sama jengkel aku berhubungan dengan Saka, tapi tidak bisa berbuat apa-apa juga karena menghormati keputusan yang kuambil.
"Acaranya udah mulai apa?" aku segera mengalihkan topik pembicaraan. "Aku masuk duluan kalau gitu."
Kudengar Wina mendumel di belakangku. Dia pasti dongkol setengah hidup karena tidak kuacuhkan. Aku tidak ambil pusing. Wina tidak pernah bisa benar-benar marah padaku.
Di pekarangan, aku disambut anak-anak yang antusias. Satu persatu mereka menyalamiku dengan salaman khas yang sudah kubuat bersama mereka semenjak hari pertama pembukaan Rumah Singgah ini, sebulan lalu. Aku sendiri dibuat terharu dengan aksi kecil itu. Mereka dengan mudah mengafal gerakan-gerakan yang kuajarkan—tos, salim lalu pelukan. Jumlah mereka tidak banyak, hanya sebelas anak-anak.
Tapi, ada yang aneh, aku hanya menyalami sepuluh anak saja.
"Lho, Pitu mana?" tanyaku pada tiga anak yang masih di jangkauanku, yang lainnya sudah berebut hadiah buku yang dibagi-bagikan oleh sejumlah relawan yang datang. Ternyata acara korespondensinya diundur hingga besok karena semalam, tiba-tiba Wina dikabari banyak sekali relawan yang ingin datang berkunjung hari ini.
Pitu adalah anak terakhir yang bergabung bersama kami di Rumah Singgah. Waktu itu aku dan Wina menemukannya berjongkok sambil menangis di bawah pohon bunga asoka di jalanan tak jauh dari lokasi Rumah Singgah. Bajunya lusuh dan bau, tubuhnya kurus kering dan rambutnya berantakan. Aku dan Wina menanyakan asalnya, tapi Pitu mengaku tidak tahu. Yang ia ingat hanya saat membuka mata, ia sudah terbaring di bawah pohon bunga asoka itu. Bahkan namanya sendiri ia tidak ingat. Aku yang memberinya nama Pitu. Tidak terlalu punya filosofi berarti, tetapi Pitu mengaku suka namanya. Akhirnya aku memutuskan membawa Pitu ke Rumah Singgah. Bertemu dengan teman-teman barunya. Namun, semenjak dibawa ke Rumah Singgah, Pitu tidak mau bergabung dengan anak-anak yang lain. Ia terus-terusan menyendiri. Aku tidak tahu penyebabnya, seharusnya ia senang mendapat keluarga baru. Sepuluh anak lainnya pun senang akan keberadaan Pitu. Tapi, Pitu berbeda. Mungkin karena dia satu-satunya anak laki-laki.
"Oh, Pitu. Masih main dengan Mas Restu, Kak." Jawab Putri, anak paling ceria di Rumah Singgah sekaligus yang lebih tua dibanding anak-anak lain. Usianya sekarang tiga belas tahun. "Sama Aji, juga."
Siapa pula mereka?!
"Di belakang, Kak." Sambung Putri ketika melihatku menengok kiri-kanan tapi tak kunjung mendeteksi keberadaan Pitu. "Lagi bebekyu bareng anak-anak TK Masyita."
"Be-bek-yu?"Aku keheranan sampai aku sadar bahwa maksud Putri adalah BBQ-an. Dan tunggu, kenapa acara korespondesi malah berganti jadi acara bebekyu? Aku semakin merasa tidak penting di acara ini. Seolah hanya aku sendiri yang tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi sebelum aku sampai tadi.
Putri dan dua anak yang bersamanya sudah bergabung berebut buku-buku dari relawan. Aku sendiri segera melangkah ke pekarangan belakang untuk setidak-tidaknya mendapat jawaban dari segala kebingungan yang ada di depan mataku. Aku sungguh masih tidak punya ide, kenapa acara anak-anak yang seharusnya ceria-meriah-unyu-unyu ini berganti jadi acara orang-orang dewasa—acara bebekyu?!
"An, siniiii." Teriak Wina dari ujung pekarangan, dia tadinya sedang mengobrol dengan beberapa orang relawan.
Sedari tadi aku salah mengira dia akan mengekor di belakangku dan terus-menerus mengomeliku karena terlambat datang. Ternyata dia malah di sini, asyik-asyikan seolah acara ini sama sekali bukan acara anak-anak. Selain Wina, juga ada anak-anak TK Masyita dan guru-guru serta orang tua pendamping mereka. Di belakang sini ternyata jauh lebih ramai. Aku takjub bagaimana Wina dengan kemampuannya berelasi, bisa mendatangkan begitu banyak orang di acara yang seharusnya hanyalah acara sederhana.
Aku melangkah melewati anak-anak TK yang banyak menggelar lapak-lapak baca dadakan di pekarangan belakang sambil mengucap misi...misi pada orang tua mereka dengan intonasi yang kuupayakan selembut mungkin. Para orang tua itu ada yang sibuk mendampingi anak-anak mereka, ada yang hanya duduk-duduk saja, ada yang sibuk makan, ada yang sibuk selfie dan sebagainya. Pokoknya semuanya membuatku jadi semakin bingung.