Esok harinya, pagi-pagi sekali, Restu akhirnya memboyong Pitu bersamanya. Acara korespondesi yang harusnya diadakan siang ini, dipercepat. Semalam, aku dan Wina sepakat untuk meminta anak-anak menulis surat untuk Pitu. Meski sudah sangat larut, mereka bersemangat menulis. Mungkin ada banyak hal yang ingin mereka sampaikan selama ini pada Pitu, tetapi tidak pernah bisa. Surat ini jadi media mereka untuk mengeluarkan semua perasaan pada Pitu.
Berkorespondensi adalah kegiatan menyenangkan. Aku sudah melakukannya semenjak masih di bangku sekolah dasar. Sahabat pena pertamaku dari Malaysia, namanya Elizah. Kami pernah bertemu di Surabaya ketika ia dan keluarganya melancong ke Indonesia. Ketika kuceritakan soal itu, anak-anak langsung takjub, terutama Putri dan Eca, mereka berdua serempak meminta diajari untuk menulis surat dan bagaimana cara mengirimnya. Mereka tidak sabar ingin punya teman dekat dari luar negeri. Aku bahagia melihat mereka seantusias itu. Mengenalkan sesuatu yang menyenangkan ke orang lain, ternyata juga hal yang menyenangkan.
Surat mereka jadi dua puluh menit kemudian. Termasuk cepat, yang bikin lama adalah ketika mereka kuajari membuat amplop sendiri. Kamar utama—yang biasa kutempati dengan Wina—langsung berantakan, kertas karton, spidol dan aneka washi tape berserakan di mana-mana. Wina sendiri sudah pulas, kelelahan.
Surat mereka jadi pukul dua belas lewat. Setelah itu, anak-anak langsung menyusul Wina, berbaring bersama-sama, karena malam itu kamar mereka ditempati Restu dan Si Kembar.
Pagi itu, anak-anak yang lain bergantian maju bersalaman dan memeluk Pitu, lalu menyalami Aji kemudian Restu.
Setelah menyalami Wina, Pitu menghambur untuk memelukku erat sekali. Aku sekali lagi tidak tahan untuk tidak mengeluarkan air mata. Pitu juga tak kalah sedihnya, air matanya membasahi bajuku.
Aku berjongkok di depannya, melakukan salam khas kami lalu mengusap air matanya, “Hei, Ari jangan sedih, ya.”
Aku mengatakannya bahkan ketika aku sendiri tidak kuasa menahan haru, di belakangku Wina juga tak kalah sedihnya.
“Besok-besok, Ari bisa minta Mas Restu buat anterin ke sini, ya?” aku mendongak pada Restu yang berdiri di belakang Pitu, lelaki itu mengangguk. Dia tidak menangis, tetapi rona wajahnya juga menyiratkan haru, Aji pun demikian. “Sama Aji sekalian, biar bisa kumpul-kumpul lagi sama teman-teman.”
Pitu sesegukan, bibirnya bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi tidak mampu.
Aku memanggil Aji untuk turut bergabung, keduanya berdiri di hadapanku, mata kami sejajar, “Nanti Aji juga boleh datang ke sini. Kalian berdua selalu punya tempat di Rumah Singgah. Kalian sudah jadi bagian dari keluarga Rumah Singgah.”
Aku memeluk keduanya, “Jangan sedih. Mbak Anna punya kejutan buat Pit—eh Ari.”
“Pi-pitu saja, Mbak.” Ucap Pitu terbata. Di sebelahnya, Aji menoleh dengan ekspresi melongo yang imut. Seolah bocah itu baru saja mendengar suara kembarannya untuk pertama kali—atau mungkin memang seperti itu.
“—buat Pitu.” kataku mengangguk, lalu meminta Putri maju mewakili teman-temannya untuk memberi surat pada Pitu.
“Ma-makasih, Puti.”
Putri tertawa, kami semua tersenyum. “Putri, ya.” Ucap Putri pada bocah lelaki yang tingginya hanya sampai dagunya itu.
Tak hanya itu, aku dan Wina juga sudah menyiapkan sesuatu buat Pitu. Sebuah hadiah dalam kotak kado. Kami menyengaja menyediakan dua kado, satu lagi buat Aji. Aji menerimanya dengan antusias, Pitu sekali lagi memelukku.
Akhirnya momen bersama Pitu pun harus berakhir.
“Makasih, ya, Win,” ucap Restu lalu menoleh padaku, “An, makasih sudah bisa dekat dengan Aji, bahkan Ibu kami tidak sedekat itu. Aji akan banyak merindukanmu di Surabaya.”
“Aku pasti juga akan merindukannya, Mas.”
Restu tersenyum, lesung pipitnya yang samar jadi kelihatan manis sekali, “Kalau ke Surabaya, berkabar ya.”
Siang harinya anak-anak kembali beraktifitas seperti biasa, hari ini sebagian relawan masih akan datang untuk membagi-bagikan hadiah dan beberapa perlengkapan penunjuang untuk Rumah Singgah. Sepanjang siang itu juga telingaku seakan mau pecah setiap kali Wina meledekku soal Restu.
“Jadi, sekarang sudah punya Mas nih, ceritanya,” Wina menyenggolku, hampir saja minuman yang akan kutuang ke dalam gelas mengenai bajuku.
“Ih! Apa-apaan deh, Na! Ya terus menurutmu harus kupanggil apa? Oppa gitu?”
“Yaa enggak gitu juga kali, A. Tapi, ‘Mas’-mu padanya itu lho An, tadi berbeda banget.”
Aku malas menanggapi Wina yang mulai aneh-aneh.
“Dan tatapannya ke kamu itu beda lho, An. Restu banyak sekali tersenyum melihat kedekatanmu dengan Pitu. Aku bahkan memergokinya memotret kamu saat berpelukan dengan Si Kembar itu. How sweet!”
“Ya terus? Memangnya itu sesuatu yang istimewa apa? Biasa aja kali.”
“Dasar manusia kurang peka sedunia! An, dia itu manggil kamu AN. Aa--En, An. Gimana enggak istimewa, bahkan si Sasakala aja masih enggak terbiasa manggil kamu begitu.”
“Tapi, Na. Itu cuma soal panggilan. An atau Na, itu sama aja deh.”
“Lho, kamu sendiri kan yang bilang kalau kamu suka dipanggil An, karena Na terlalu biasa-biasa aja. Ya, oke. Memang biasa-biasa aja, An. Tapi lupakan soal itu, yang terpenting dia suka kamu!”
Aku memelototinya. Yang benar saja!
“Jalan pikiranmu, Na! Kebanyak drakor ini di dalam sini!” aku menunjuk kepalanya, Wina memicing padaku, “Itu kamu kenapa senyum-senyum gitu? Jangan-jangan kamu juga suka dia, An?”
“HEH—enak aja kalau ngomong. Siapa yang senyum?!” Aku mengerucutkan bibir seketika. Memangnya tadi aku tersenyum?
“Aku dukung lho, An. Daripada sama si Saka, Restu itu jauh lebih cocok sama kamu.”