Jatuh cinta ternyata tak hanya membuat tubuh bereaksi norak, tapi juga menyulap otak jadi kacau sehingga bisa menciptakan ide-ide genius yang sebelumnya tak terpikirkan.
(Mel)
Tuhan yang paling hebat, ini aku.
Aku ingin melompat hingga menyentuh langit. Atau berteriak sampai suaraku habis. Bukan, bukan karena aku stres, melainkan karena aku lagi bahagia. Bahagia yang overdosis.
Hari ini umurku genap tiga belas tahun. Hari bersejarah. Aku dan temen-temen punya acara hari ini. Kami akan nonton film Shrek .... Aku udah enggak sabar menunggu hari ini, terutama karena Wing. Dia akan ada di dekatku beberapa jam.
Wing tampan dan (akan) jangkung. Kulitnya kecokelatan, hidungnya lurus dengan bentuk yang sempurna. Giginya memang agak berantakan, tapi buatku itu justru jadi daya tariknya. Kalo Wing senyum, dunia kayaknya ikut tersenyum bareng dia.
Di mataku, Wing makin sempurna karena dia tergolong orang yang menjaga sikapnya banget. Enggak genit sama cewek. Misterius, sih, enggak. Cuma, kesannya “mahal”.
***
Mel mematut diri di kamar. Hari ini adalah hari yang istimewa. Mama memberi izin untuk nonton bersama teman-teman sekolahnya pada hari ulang tahunnya kali ini. Bahkan, Mama memberi uang saku lebih. Selain tiga bes ies-nya, Mel juga mengajak Wing, Adro, dan Bian. Mereka sekelas dan sering belajar bersama. Namun, perhatian utamanya tentu saja ada pada Wing. Teman sekelas yang entah sejak kapan “menyetrumnya” tiap mereka berdekatan dan membuat tulang-tulang Mel berubah menjadi jeli.
“Wing ...,” panggil Mel dengan suara tercekik. Bel pulang sudah berdentang sepuluh menit lalu. Mel menunggu hingga kelas sepi. Dia sebenarnya terlalu malu untuk melakukan ini. Namun, Mel tak punya pilihan lain kalau ingin Wing turut serta lusa.
“Ya, ada apa, Mel? Kenapa kamu belum pulang? Temen-temenmu mana?” tanya Wing santai sambil mengenakan tas ranselnya di punggung. Jemarinya mengusap wajah sekilas.
Wing tampaknya tak memperhatikan wajah Mel yang merah padam. Padahal, Mel saja bisa merasakan panas di wajahnya yang terasa membakar hingga ke punggungnya.
“Hmmm ... lusa kamu ada acara, Wing?” susah payah rasanya Mel membuka mulutnya.
Pertanyaan Wing tadi menguap begitu saja dari otak Mel.
“Lusa?” kening Wing berkerut beberapa detik. Ada jeda sejenak, Wing tampak berpikir. Bagi Mel, saat itu terasa berjalan begitu lambat. Waktu seakan berhenti. Diam-diam dia diterpa cemas, seolah-olah sedang menunggu vonis dijatuhkan.
Menanti jawabannya seperti enggak ada akhirnya. Aku harus menahan napas panjang. Aku takut kalo bernapas Wing akan memberi jawaban yang enggak kuharapkan. Ya, Tuhan .... Pipiku terasa panas, jantungku hampir meledak, lututku bergetar hebat. Bahkan, perutku pun mendadak mulas. Aku ingin ngebatalin niat mengajak Wing, tapi semua udah terlalu terlambat. Temen-temen sialan, kenapa mereka maksa aku bicara langsung tanpa ditemani? Mana toleransi mereka? Katanya kawan sejati? Giliran aku gugup begini, kenapa malah ditinggal?
“Sepertinya, sih, enggak ada. Emangnya ada apa, Mel?”
Mel kembali merasa tercekik. Kali ini jauh lebih hebat dari yang tadi. Lidahnya terasa kelu. Menelan ludah pun dia butuh tenaga luar biasa untuk melakukannya.
“Aku ... lusa ... aku ulang tahun ...,” kalimat Mel terpenggal. Gadis itu menunduk.
“Ya?” Wing menunggu dengan sabar. “Kami ... aku ... ingin mengajakmu nonton. Itu kalo kamu enggak, eh, ... keberatan.”
“Non ....”
“Tapi, bukan kita berdua aja, kok! Ada temen-temen yang lain juga,” imbuh Mel buru-buru. Wing mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Ada senyum tipis di sudut bibirnya.