Dengan blus biru pucat cantik dengan aksen kerut di bagian dada dan celana jin tiga perempat biru laut, Mel merasa dirinya cukup menarik. Untuk kesempatan langka ini, Mel sengaja menjauhkan kaus bergambar kartun-kartun lucu atau kemeja motif kotak-kotak yang selama ini menjadi kegemarannya. Mel tak ingin terlihat kekanak-kanakan. Dia tak ingin menampilkan kesan yang salah di mata Wing.
“Blus ini menyelamatkanku,” gumam Mel lirih sembari menatap bayangannya di cermin dengan puas. Mel berkaca sambil memutar badannya ke kanan dan ke kiri, mencari-cari kekurangan dari penampilannya hari ini. Sedapat mungkin, Mel ingin tampil cantik. Blus ini mirip dengan blus yang dipakai Yoona SNSD dalam salah satu iklannya.
Dada rataku “tertolong” dengan kerutan di bagian dada blus ini. Hmmm, aku memang genius waktu membelinya. Siapa sangka aku akan begitu membutuhkan pertolongan kerutan-kerutan itu? Andai aku cuma pake t-shirt, apa kata Wing melihat dadaku yang mirip papan penggilasan? Beda dengan temen-temen yang lain.
Mel lupa, seragam sekolah dan pakaian olahraganya sudah “bicara” terlalu banyak. Semua orang bisa menangkap bentuk tubuhnya yang ceking dengan dada yang masih “polos”. Apalagi dengan rambut pendeknya, Mel kerap disangka anak lelaki. Kulit kuningnya yang cantik selalu terabaikan. Cuma saat memakai rok, orang-orang mendapa tpenegasan bahwa sesungguhnya Mel adalah seorang perempuan. Selama ini, dia tak pernah terganggu dengan kenyataan itu. Baru belakangan ini saja Mel sedikit lebih memperhatikan penampilan.
Itu karena Wing.
Wing membuat dunia Mel tak pernah sama lagi.
Dadaku masih kurang menonjol. Masih terlalu rata. Apa yang harus kulakukan? Pergi ke Mak Erot? Ah, itu jalan sesat untuk orang putus asa. Lagi pula, memperbesar dada bukanlah keahlian Mak Erot, kan? Hebat, otakku makin kacau aja. Kayaknya makin lama aku enggak bisa mikir dengan bener. Apa otakku ada virusnya?
Mel tiba-tiba tergelitik dengan sebuah ide konyol. Awalnya, terasa aneh dan tak masuk akal. Sekuat tenaga Mel mengabaikannya. Namun, entah kenapa pikiran itu malah kian ngotot menempel di kepalanya. Makin dipikir, kok, rasanya makin masuk akal.
Gimana kalo aku ambil jalan pintas aja? Gumpalan tisu di dalam miniset, bukankah itu ide yang cemerlang? Atau mungkin sebaiknya aku pake bra yang dibeli Mama itu? Sampai saat ini, sih, belum pernah kupakai karena memang rasanya belum kubutuhkan. Tapi, mungkinkah ini saat yang tepat untuk memakainya?
“Bener-bener bodoh! Gimana kalo pas nonton ganjalan tisu itu berhamburan keluar? Bukankah itu akan sangat memalukan?” desisnya pada diri sendiri. Mel tersenyum kaku. Wing ternyata mampu membuat otaknya berubah sinting. Sim salabim.
Pikiran Mel saling berbantahan. Ada yang setuju dan ada yang menolak mentah-mentah. Dirinya seolah terjepit di antara dua orang yang saling bertolak belakang.
Duh, sialan. Kenapa ide untuk bermain-main dengan tisu, kok, terasa menyenangkan, ya? Ada dorongan yang kuat agar aku segera mewujudkannya. Apa perlu? Makin aku coba untuk mengabaikan, aku, kok, justru kian merasa penasaran.
Mel berkaca lagi. Kali ini dia berusaha lebih fokus. Juga lebih lama menatap pantulan dirinya. Mel memandang dari segala arah yang dimungkinkan. Andai cerminnya bisa bicara ....
Mel mencoba menatap kejujuran yang ditawarkan oleh cermin di dalam kamarnya.
Inilah dia ....
Aku jelas-jelas enggak punya tubuh yang bagus. Cerminku jujur banget. Dadaku rata. Mirip jalan tol. Mungkin pertumbuhanku telat. Beratku pun tidak ideal. Aku masih agak kurus. Koreksi: TERLALU KURUS. Tinggi, sih, tidak masalah. Hmmm, aku memang punya banyak kekurangan. Aku juga merasakan banyak ketidakpuasan. Aku ingin secantik Yuri, sepintar Fika, sekalem Nef. Kadang ke tamakan membuatku mengangankan gabungan dari ketiganya. Tapi, mustahil, kan? Kalo soal dada, aku ingin kayak Yuri. Dadanya jauh lebih bagus dibanding kami semua. Tapi, apakah aku membutuhkan tisu itu? Hmmm ... rasanya tidak.
Mel menggosok-gosokkan telapak tangannya perlahan. Aneka pikiran berkecamuk di kepalanya. Wajah Wing bermain-main di pelupuk matanya. Teman-temannya sangat benar. Sejak ia mengundang Wing nonton pada hari ulang tahunnya, jam tidurnya terpangkas demikian drastis. Rasa kantuk mendadak enggan merapat ke matanya.
Semua mendadak berubah jadi serba-Wing. Lukisan cowok di kaver majalah remaja mendadak berubah jadi mirip Wing. Model-model keren di majalah remaja pun punya garis wajah serupa Wing. Intinya, ke mana pun mata Mel ditambatkan, hanya ada Wing di sana.
Untungnya, bayangan Wing enggan menempel di wajah-wajah yang kurang komersial. Jody, Papa, satpam sekolah ....
Aku rajin berdoa. Tapi, kenapa Tuhan tak mengabulkan doa-doaku? Tubuhku tetap aja seperti anak berumur sepuluh tahun. Bayangkan, Sashi bahkan hampir menyusulku! Kadang malah aku yang dikira sebagai si bungsu. Tragisnya lagi, sampai detik ini pun aku belum mens. Hmmm, gimana rasanya, ya? Aku ketinggalan dibanding yang lain. Apa memang aku bener-bener kekurangan gizi? Semakin dipikir, kemungkinan itu, kok, rasanya makin masuk akal.
“Mel, ngapain dari tadi bengong di kaca?”
Mel hampir kena serangan jantung. Padahal, Sashi menegurnya dengan suara rendah.
“Halooo, ada apa dengan ketuk pintu? Ini, kan, kamar pribadiku,” dengus Mel kesal.
“Aku tadi udah ketuk pintu sampai tanganku kram. Tapi, kamu enggak jawab,” balas Sashi santai tanpa rasa bersalah. Si Bungsu itu terus melangkah masuk ke kamar Mel.
Astaga, sangat berlebihan, kan? Mana mungkin jarinya kram hanya karena mengetuk pintu satu atau dua kali? Sashi memang tebal muka. Mungkin itu sebabnya badak terancam punah karena banyak manusia yang mendadak “bermuka badak”.
“Kalo aku enggak jawab, kenapa kamu nekat masuk? Itu, kan, namanya enggak menghargai privasi, enggak sopan. Seenaknya masuk ke kamar orang lain tanpa dipersilakan terlebih dahulu,” omelnya panjang lebar. Hampir pasti, tiap bersama mereka pasti bertengkar. Jangan pernah mengharapkan adegan saling peluk dan sejenisnya. Itu pemandangan yang haram terjadi di rumah mereka. Mereka lebih mirip musuh bebuyutan.
“Aku takut kamu bunuh diri. Makanya aku masuk aja,” balas Sashi santai sambil duduk di bibir ranjang. Mel merasa alasan sang Adik begitu anehnya. Matanya bersinar polos, benar-benar menampilkan sorot tanpa dosa yang justru membuat Mel makin kesal.
“Dasar sesat!” maki Mel sebal.
“Kamu mau ke mana?” Sashi tampaknya tak peduli dengan kegeraman sang Kakak.
“Nonton,” jawabnya. Lalu, dengan dagu terdongak angkuh, Mel melirik adiknya dengan dramatis. “Hari ini umurku, kan, udah tiga belas tahun. Bukan anak-anak lagi kayak kamu,” cetusnya penuh kepuasan. Sengaja kata “kayak kamu” diberi tekanan.
“Alaaa, setahun setengah lagi aku juga tiga belas tahun. Bukan cuma kamu doang di dunia ini yang ngerasain umur tiga belas! Apa istimewanya, sih? Bahkan, orang bule selalu percaya kalo angka tiga belas itu angka sial,” ujarnya terprovokasi oleh kata-kata Mel.
Mereka memang bagai Tom and Jerry. Selalu bertengkar. Akur adalah barang langka bagi dua saudara itu.
“Terserahlah. Yang penting, mau apa kamu ke sini? Mau berantem?” tanya Mel galak.
“Mau ikut nonton Shrek,” celetuk Sashi dengan nada ringan. Kini dia mematut diri di cermin, menggantikan Mel yang sedang memeriksa tasnya yang tergeletak di kasur.
“Apa?” Mel mendadak terserang tuli akut. Orang yang barusan mengejek umurnya kini malah ingin ikut nonton? Dan, hal itu diucapkan dengan begitu terus terang.
Entah apa yang ada di otak Sashi. Mau apa dia ingin ikut nonton? Apa dia enggak tahu kalo permintaannya itu akan kutolak tanpa mikir dua kali? Siapa sudi berbagi kegembiraan sama makhluk yang paling nyebelin ini? Cuma karena kenyataan pahit bahwa kami bersaudara makanya aku enggak menguburnya hidup-hidup sejak dulu. Padahal, belakangan ini aku makin rajin nonton “Criminal Minds” untuk nyari ide cemerlang gimana caranya “menyingkirkan” Sashi tanpa terlacak.
“Aku mau ikut nonton Shrek bareng kamu,” ulang Sashi lagi tanpa rasa canggung.
“Siapa yang ngizinin kamu ikut nonton bareng aku? Apa kamu termasuk yang diundang? Seingatku, enggak ada, tuh, nama Sashi di antara orang yang kuharapkan datang,” sindir Mel tajam. “Sori, ini bukan acara untuk anak umur sebelas setengah tahun.”