Meskipun gagal di tes masuk praktikum, asisten Laboratorium Fiskom masih memberi kesempatan bagi juniornya untuk mengisi absensi hari ini.
Suasana masih sama seperti sebelumnya. Dipenuhi dengan wajah kusut yang menatap nanar layar komputer di depannya. Apalagi jika output pada terminal menunjukkan kalimat sakti yakni, Fortran runtime error: Bad real bla bla bla.
Hanya sekedar informasi singkat bahwa, di jurusan Fisika Murni juga mempelajari bahasa pemograman. Hanya saja tidak serumit jurusan IT.
Tampak seorang pengajar muda dengan wajah galak berdiri di depan ruangan. Banyak dari praktikan yang tidak menyukai Hana yang terkenal suka memberi soal tes masuk praktikum setara level olimpiade sains. Berbeda dengan Adelia yang tidak pernah mempersusah junior-juniornya. Selain dia memang baik hati, alasan kedua adalah tidak terlalu pintar.
“Saya selaku koor praktikum, memberi kalian kesempatan untuk menutupi nilai responsi kalian yang anjlok. Laporan praktikum Iterasi Jacobi, jumlah iterasinya ditambah 2 kali lipat. Paham?”
“Paham, Kak.”
Hana tersenyum sinis menatap wajah-wajah ketakutan adik tingkatnya. Dia berjalan ke bangku belakang yang didominasi oleh laki-laki.
“Tumben nggak bisa jawab, Yan?” tegur Hana kepada Rian yang pernah menang OSN yang disponsori oleh salah satu perusahaan besar.
“Lagi sial,” jawab Rian santai.
“Ada yang mau ditanyakan?”
“Nggak ada.”
Hana kembali berjalan menuju bangku lain untuk diruntuhkan mentalnya. Sedangkan dua anggota laki-laki yang lain sibuk membimbing praktikan yang mereka incar menjadi pacar.
Telunjuk Rian menekan kuat tombol enter pada keyboard di mejanya. Bibirnya terangkat sedikit ketika melihat angka demi angka bermunculan pada output-nya. Otaknya terlalu berguna untuk hal-hal serumit ini.
“Teman-teman, nilai UTS Oseanografi Fisis sudah keluar.”
Rian tahu itu suara Adelia. Siapa lagi yang punya suara cempreng memekik meskipun sudah berusaha dipelankan.
Agesta, Angga, dan Hana segera memburu Adelia dan menyeretnya ke dalam ruangan laboran yang kebetulan kosong. Sangat berbahaya jika praktikan mereka tahu—nilai mereka lebih mengenaskan ketimbang nilai praktikan.
“Ngeselin banget Pak Raka. Ngasih soal hitungan nggak kira-kira. Dikasih setengah jam mau hitung apa?” keluh Hana.
“Emang kalian nggak pernah begitu ke praktikan? Ngasih hitungan matriks dikasih waktu 2 menit?” sahut Adelia yang mengingatkan tentang hukum karma.
“Lagian, kenapa, sih, kamu nggak pernah bisa jawab dengan benar di mata kuliah Pak Raka?” tanya Angga kepada Hana, “soal Pak Sugiono dan Pak Darius yang mematikan aja... kamu bisa kerjain dengan sempurna.”
“Bener, Han!” sahut Adelia, “kalau begini, kan... kami juga jadi susah mau nyontek kamu.”
“Berisik!”
Hana membubarkan diri terlebih dahulu, disusul oleh tiga orang yang kembali ke tugas masing-masing.
Adelia mengamati layar komputer adik tingkatnya yang menampilkan terminal berisi script rumit. Dia mengenang kembali masa sulitnya ketika pertama kali belajar bahasa pemograman hingga bercucuran air mata. Tidak menyangka kali ini dia menjadi asisten di praktikum yang terkenal mematikan di area jurusan fisika.
“Ayo, semangat,” kata Adelia sambil berjalan di deretan bangku belakang.
Rian tampak lebih santai dari teman-temannya. Cowok berkulit kuning langsat itu memutarkan tubuhnya di kursi sambil bergumam pelan menyanyikan sebuah lagu.
Bersamaan dengan itu, Adelia melewati pipa kecil penutup kabel yang berada di lantai. Warna putih yang telah berkamuflase dengan lantai itu, membuat Adelia terkecoh dan tidak sengaja menyenggolnya hingga membuatnya kehilangan keseimbangan.
Beruntungnya, Rian cepat tanggap untuk menangkap Adelia yang nyaris mendarat di lantai.
Suara gaduh itu menarik perhatian orang-orang. Namun hanya sebentar. Karena menyelesaikan praktikum lebih utama ketimbang memperhatikan dua orang yang tampak mesra seperti orang yang berpelukan.
“Tuh, kan!” seru Adelia sambil melepas pelukan Rian, “seharusnya ditempelin lakban aja.”
Adelia jongkok di samping Agesta yang menatap kondisi penutup kabel yang retak. “Berapa kali sudah menjatuhkan korban?”
“Yang sering jatuh di sini cuma kamu aja, Del,”
Adelia lupa tentang Rian yang sudah menyelamatkan dirinya dari kerasnya keramik. Sebenarnya Rian tidak mengemis ucapan itu—tapi ada rasa kesal yang menyeruak dalam hatinya. Entah, tidak bisa dijelaskan.
“Malaikat apanya?” gumam Rian yang kembali ke tempat duduknya. Bibir tipisnya terangkat sedikit beberapa senti. Entah apa yang dia pikirkan. Dari wajahnya, pikirannya sedang tidak sehat.
-oo-
Suasana kantin kampus mipa masih tetap ramai peminat ketimbang perpustakaan. Tidak pernah sepi kecuali malam hari.
Adelia bersama tiga rekannya sedang menikmati makan siang sembari membahas gosip terpanas di kampus mereka. Bersamaan dengan itu, Rian dan rombongannya juga tiba di kantin yang sama. Kebetulan meja kosong yang tersisa berdekatan dengan meja senior-senior itu.
“Pesanin, ya. Nasi goreng pake telor ceplok, minumnya es teh,” kata Rian yang meminta Fajar untuk memesankannya makanan. Sedangkan dirinya segera menduduki kursi sebelum dihuni oleh pengunjung lain.
Mata sipitnya memicing—menatap punggung kecil dibalut kemeja kuning kunyit yang familiar. Ditambah suara cempreng yang meyakinkan Rian bahwa di depannya adalah Adelia.
Sebenarnya Rian tidak berniat untuk menguping pembicaraan seniornya, tapi dengan volume nyaring seperti itu—siapa yang tidak dengar? Rian memastikan indera pendengarannya cukup tajam dan tidak bisa dipaksakan untuk tuli.