Junior Love Senior

Aniela
Chapter #3

Chapter 3

Di pusat perbelanjaan Kota Samarinda, Adelia sibuk memperhatiakan pintu masuk dan notifikasi hp-nya bergantian. Sosok yang dicari belum ditemukan semenjak kedatangannya 10 menit yang lalu.

Raka. Cowok yang selalu saja telat di ajang pertemuan—tidak membuat Adelia jera untuk menunggunya di lokasi yang telah dijanjikan. Mereka kerap bertemu langsung di lokasi dengan kendaraan sendiri-sendiri.

“Kemana, sih, tuh dosen?” tanya Adelia tampak kesal. Dia sudah merasa gerah sendiri dengan jaket hoodie kuning yang melekat di tubuhnya. Rupanya pendingin ruangan tidak mampu mengurangi hawa panas yang keluar dari tubuhnya.

Bosan menunggu Raka yang tak kunjung muncul, Adelia berjalan memutari etalase sepatu wanita. Tidak beli, sih, hanya sekedar lihat-lihat.

Adelia memicingkan mata ke arah cowok berkaos merah yang tampaknya tidak asing. Cowok itu terlihat memegang sepatu wanita dengan wajah masam dan kebingungan.

“Fajar?” tegur Adelia, memastikan bahwa tidak salah mengenali orang.

“Eh?” Fajar tersentak kaget, “ Kak Adel? Mau beli sendal juga?”

“Ngapain kamu? Beli buat siapa?” Adelia malah balik bertanya.

“Buat emaknya Rian. Nitip beliin sendal.”

“Rian?”

Cowok aneh itu lagi, maki Adelia dalam hati.

“Aneh si Rian. Nyari sendal buat cewek... malah bawa cowok. Daritadi emaknya protes sama pilihan kami.”

Adelia menatap area sendal pilihan yang dimaksud oleh Fajar. Kening Adelia berkerut melihat sendal merah menyala dan pink magenta yang berbulu-bulu.

“Sudah 2 jam kami muterin tempat ini. Nggak ketemu sama yang cocok. Si Rian sampai mabok nyium bau AC campur sepatu,” keluh Fajar lagi.

“Pantesan nggak cocok. Selera emak-emak malah dipilihin sepatu cabe-cabean.”

“Mumpung Kak Adel ada di sini, bantu pilihin, dong. Aku dan Rian sudah menyerah.”

Adelia berjalan mendekati sepatu dengan model pumps berwarna cokelat dengan glitter kecil. Dia mengambil satu dan menyerahkannya kepada Fajar.

“Kalau mamanya nggak suka, kalian fotoin aja deretan yang ini. Cari yang elegan tapi nggak norak. Warnanya lembut dan nggak bikin sakit mata. Dan ingat! Sederhana, tapi nggak kampungan.”

Mulut Fajar terbuka lebar, “kakak ngomong apa?”

Suara notifikasi membuat Adelia panik membuka hp-nya. Sebuah senyuman lebar menghiasi wajah manisnya tatkala membaca pesan dari Raka yang mengatakan sudah menunggunya di lantai 4.

“Aku tinggal dulu, ya.” Adelia berbalik dan sedikit berlari menuju eskalator.

Tidak lama kemudian, Rian datang dengan wajah pucat dan rambut berantakan. Tangannya mengusap perut yang masih terasa menyisakan angin jahat,

“Udah keluar semua?” tanya Fajar.

Rian balas mengangguk tanpa mengucapkan kata-kata. Dia sedikit heran dengan kekuatan cewek yang mampu berkeliling mall selama berjam-jam tanpa merasakan perut kembung. Apalagi hanya jalan-jalan dan tidak membeli barang sama sekali.

“Nih.” Fajar memberikan satu buah sepatu pilihan Adelia kepada Rian, “pilihan Kak Adel.”

“Dia ada di sini?” tanya Rian sambil melirik sekitarnya, berusaha mencari si empu nama.

“Barusan ketemu... baru aja pergi,” jawab Fajar. “Buruan foto. Kamu pikir, kamu aja yang mabok? Aku juga mulai mabok nyium bau sepatu.”

Rian mengambil gambar dengan hp-nya dan mengirimkannya ke nomor ibunya. Lalu berjalan mengikuti Fajar yang sudah terkapar di kursi tunggu.

“Ngapain dia di sini?” tanya Rian yang masih penasaran dengan kemunculan Adelia malam ini.

“Namanya juga cewek. Paling lagi jajan atau cuci mata.”

“Sama siapa?”

“Tadi sih... sendiri. Tapi kayaknya mau ketemu sama seseorang.”

“Cewek?”

“Kamu kenapa, sih? Tumben kepo?”

Pertanyaan Fajar membuat Rian tersadar dengan sendirinya. Mengapa dia bertanya banyak tentang Adelia yang jelas-jelas bukan urusannya?

Kring!

Sebuah pesan dari ibunya menyelamatkan Rian dari pertanyaan menyelidik dari Fajar. Rian bernapas lega ketika medapat persetujuan dari sang ibu untuk membeli sepatu pilihan Adelia.

“Alhamdulillah!” Rian berdiri dan melambaikan tangan ke SPG terdekat, “Mbak, ukuran 37, ya.”

“Ditunggu sebentar, ya, Kak.”

Rian kembali duduk di kursi dan memijit betisnya yang mulai mati rasa. Tidak disangka—kekuatannya bisa terkuras habis hanya karena sepatu.

“Jajan dulu, yok. Pengen makan takoyaki,” pinta Fajar yang membuat wajah Rian kembali kusut.

“Ngerepotin banget, sih. Udah mabok, pengen cepat-cepat rebahan!”

“Yee! Siapa tahu di lantai 4, kamu ketemu sesuatu yang menarik. Itung-itung bayar waktuku yang terbuang percuma gara-gara bantuin kamu!”

Rian tidak bisa menyanggah lagi. Toh, dia harus bertanggungjawab atas kepenatan Fajar hari ini. Membeli satu jajanan juga bukan ide yang buruk.

-oo-

“Yang ini gimana?” tanya Raka kepada Adelia selaku penyeleksi sepatu pilihannya.

“Nah! Ini bagus!”

Akhirnya selama beberapa menit, Adelia menyetujui pilihan Raka yang sedaritadi memberikan pilihan jenis sepatu yang tidak masuk akal. Tapi, tetap saja Raka masih ingin membeli sepatu olahraga berwarna putih.

“Perasaannya sepatu sebelumnya bagus. Orang ganteng biasanya cocok pakai apa aja,” protesnya.

“Katanya buat acara resmi. Ngapain pakai sepatu olahraga? Mau jogging?”

“Tapi tetap ganteng, kan?” tanya Raka sambil memamerkan senyumannya yang lebar.

Adelia mendorong tubuh Raka agar menjauh darinya. Bukan risih karena gangguan Raka, tapi ia masih suka salah tingkah sendiri jika melihat senyuman manis cowok itu.

“Bapak jadi beli, nggak, sih?” tanya Adelia, pura-pura kesal.

Lihat selengkapnya