Adelia berbaring di atas tempat tidur yang didominasi dengan warna kuning pucat. Wajahnya terlihat kusam ketika melihat pesannya hanya dibaca oleh Rian—tanpa ada balasan terimakasih atau basa basi sedikit.
Semenjak insiden seminggu yang lalu, Adelia harus mengikuti kemauan Rian sesuai dengan perjanjian. Besok adalah jadwal praktikum Metode Numerik. Adelia sudah mengirim bocoran soal beserta ancaman agar Rian tidak membocorkan soal itu kepada teman-temannya.
“Dasar bocah nggak tahu diri!” umpat Adelia. “Balas apa, kek. Di-read doang! Dah kayak dosen aja!”
Adelia mengubah posisinya menjadi tengkurap dan tidak sengaja menemukan selembar foto dirinya dengan Raka yang sedang liburan di Pantai Biduk-biduk. Di balik foto bertuliskan “My First Love.”
Perkataan Rian mulai terngiang-ngiang di kepalanya. Mungkin ada benarnya jika mengungkapkan kebenaran yang telah disembunyikan bertahun-tahun. Barang kali Raka tidak menyadari perasaan yang sesungguhnya jika Adelia tidak mengatakannya.
Adelia mengubah posisinya lagi menjadi telentang. Lalu, membuka percakapan dirinya dengan Raka di hp. Adelia mulai mengetik sesuatu yang selama ini terpendam.
Selama ini aku suka kamu. Tapi aku senang kamu udah dapat pilihan hati yang sesungguhnya. Semoga lancar sampai hari pernikahan.
Adelia menggeleng dan menghapus pesan dengan cepat.
“Nggak! Kalimat terakhir bohong! Aku nggak setegar itu membiarkan Raka hidup bahagia!” jerit Adelia yang berubah mode menjadi tokoh antagonis di sinetron.
Kali ini pesannya tidak berupa tulisan melainkan rekaman suara. Hatinya akan meledak jika tidak mengungkapkan perasaannya selama bertahun-tahun.
“Kenapa kamu nggak pernah peka jadi manusia?! Aku tahu kamu pintar! Kamu jenius! Kamu bisa lompat kelas dengan mudahnya tanpa memikirkan perasaan anak-anak yang tetanggaan sama kamu termasuk aku! Kamu bisa dapat gelar master di usia muda dan bikin emak aku menanyakan nasibku yang belum lulus sarjana di usiamu dulu! Kamu pikir nggak sebel apa? Dibanding-bandingin sama kamu tiap hari?! Harusnya aku benci sama kamu... tapi... aku malah cinta sama kamu! Aku suka sama kamu! Aku....”
Tiba-tiba saja kontak Raka terlihat sedang online. Adelia panik dan buru-buru menghapus pesan suara sebelum berhasil terkirim. Ternyata nyalinya masih kecil untuk berbuat nekad seperti tokoh-tokoh di film.
Adelia menutup aplikasi percakapan dan melempar hp-nya ke sudut tempat tidur. Kemudian mengelus dadanya sambil melantunkan doa pengusir setan.
Nyaris saja dia melakukan hal bodoh hanya untuk mementingkan perasaannya.
Tidak berlangsung lama, ada pesan Raka muncul.
‘Tadi mau kirim pesan suara apa?’ bunyi pesan Raka.
Adelia mulai gugup karena Raka melihatnya sedang membuat pesan suara. Semenjak insiden di mall seminggu lalu, ia jadi lebih banyak berbohong dari biasanya. Mau tidak mau, ia harus memutar otak untuk mencari alasan ketika Raka terus-terusan menanyakan sesuatu yang disembunyikan Adelia.
“Dia ini sebenarnya peka atau nggak, sih?” tanya Adelia ketika membaca pesan Raka yang tidak percaya bahwa Adelia salah membaca nama kontak.
Tiba-tiba saja dosen muda itu melakukan panggilan suara yang membuat Adelia nyaris terjun bebas dari atas tempat tidur. Dengan panik, Adelia mencari posisi aman dan mempersiapkan diri untuk berbohong lagi.
Tanpa sadar, foto yang baru saja dilihatnya terjatuh ke dalam tas kuliah yang diletakkan di bawah tempat tidur.
-oo-
“Ke rumah kamu?” tanya Adelia kepada Rian. Ternyata sesuatu yang ingin Rian bicarakan setelah praktikum selesai adalah ajakan untuk datang ke rumahnya.
“Mamaku yang undang,” jawab Rian sambil memasukkan bukunya ke dalam tas.
“Dalam rangka?”
“Dia mau bilang terimakasih... gara-gara suka dengan sepatu pilihanmu.”
“Ah, biasa aja,” sahut Adelia sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, malu-malu. Lalu kembali ke mode serius ketika menyadari tidak seharusnya ia salah tingkah perihal sepatu. “Nggak! Aku nggak mau ke rumah kamu! Nggak! Nggak! Aku punya banyak urusan di luar!”
“Rekaman?”
Adelia tersenyum lebar ketika mendengar ancaman Rian mulai muncul lagi ke permukaan. “Dengan senang hati, aku datang.”
Percakapan mereka diam-diam diperhatikan oleh Hana dari ruangan laboran. Setahunya semua praktikan sudah meninggalkan laboratorium dan hanya Rian yang masih belum menghilang.
“Kalian ngomong apa?” tanya Hana, langsung menghampiri mereka.
“Ah... bahas revisian. Dia nggak bener kalau bikin flowchart,” jawab Adelia, berbohong lagi.
Adelia mendorong paksa Rian ke pintu keluar sebelum melakukan aksi berbohong lagi. Dosanya terlalu banyak dan jangan sampai dicicil dengan kebohongan.
Hana menatap gelagat Adelia yang mencurigakan. Adelia memang baik ke semua adik tingkatnya, tapi tidak pernah sedekat itu. Apalagi kepada cowok.
Bibir cewek itu mengembang lebar seakan mendapatkan kesimpulan sementara dari perubahan aneh Adelia.
-oo-
Siang ini bukan main teriknya. Ditambah truk besar yang membawa pasir melintasi Jalan Juanda.
Panas dan berdebu, kombinasi mematikan untuk kulit Adelia yang gampang jerawatan. Kangen sebentar saja muncul satu di jidat.
Adelia memarkirkan motornya di bawah pohon besar pinggir jalan. Dia tidak peduli dengan gonggongan anjing liar yang merasa terancam melihat motor metik hitam Adelia. Baginya, panas matahari lebih menyeramkan ketimbang anjing.
Adelia membuka hp dan melihat maps yang dikirimkan oleh Rian. Sebagai cewek yang buta arah, dia sama sekali tidak tahu posisi rumah cowok menyebalkan itu.
Adelia menyerah dan memilih untuk menghubungi Rian.
“Shareloc yang bener dong! Rumah kamu masuk gang apa, sih? Nyari rumah kamu berasa masuk ke dimensi lain!” omel Adelia ketika si tuan rumah mengangkat telepon.
“Liat maps yang bener,’ sahut suara dari seberang.
“Kalau nggak gara-gara ancaman kekanakan itu, aku nggak bakal repot-repot nyasar sampai Juanda 8! Lokasi rumah kamu kayak maps Game Resident Evil!”
“Kalau bukan gara-gara permintaan mama, aku nggak akan membiarkan orang yang otaknya penuh plagas bucin masuk ke dalam rumah!”
“Bocah nggak sopaaaaan! Awas kamu!”
Adelia mulai menyiksa hp yang tidak bersalah. Jika tidak ingat harga hp-nya dan kondisi dompet, mungkin Adelia sudah melemparnya ke tengah jalan raya. Kelindes truk juga tidak masalah.
Adelia tidak tahu jika Rian sedang menahan senyum ketika mendengar bak!buk! sedaritadi. Hingga pada akhirnya, Adelia terdiam ketika melihat sosok cowok yang tidak asing keluar dari salah satu butik ternama di Samarinda.
Tangan Adelia mulai menggigil lagi. Melihat Raka menggandeng mesra tangan seorang cewek cantik—membuat kepala Adelia terasa berat. Bahkan ia lupa sedang berbicara dengan seseorang di telepon.
“Halo?”
“Ternyata dia sudah pesan baju pengantin,” gumam Adelia yang masih bisa terdengar.
“Maksudnya? Kamu ngomongin siapa?”
Adelia tersentak kaget dan menyadari bahwa panggilannya sedang berlangsung.
“Maaf buat mama kamu. Kayaknya aku belum bisa ketemu siapa-siapa hari ini. Aku... aku....”