Suara gesekan pisau beradu dengan talenan kayu—terdengar nyaring di dapur rumah Rian. Si pengiris semakin meningkatkan kecepatannya ketika mengingat peristiwa menyebalkan hari ini. Apalagi melihat Rian asik duduk di kursi sambil memberi makan ikan hias kesayangannya.
“Jadi...,” tanya Adelia, menghentikan kegiatannya memotong buah semangka, “aku ke sini hanya untuk bantuin masak buat arisan?”
“Yo.” Jawab Rian santai. “Ada perubahan jadwal. Seharusnya arisan hari ini bukan di rumah.”
Adelia kembali menggerutu dan memutilasi buah semangka besar di hadapannya. Rian hanya meliriknya sekilas tanpa ada rasa ngeri—melihat pisau besar itu dihentak-hentak.
“Kenapa tadi kamu nggak ngaku aja, kalau pernah suka Pak Raka tapi mencoba untuk move on?”
Adelia menancapkan ujung pisau ke talenan kayu, kemudian melepasnya dan mengancung-ancungkan ke arah Rian. “Kamu gila! Ditohok pertanyaan dengan nada bengis seperti itu, siapa yang nggak menciut coba? Bayangin kalau jawab jujur? Auto kena gampar di depan umum.”
“Pacar Pak Raka benci kamu, tuh.”
“Mending kamu ke luar, deh!” teriak Adelia, mulai kehilangan kesabaran. Apa Rian tidak melihatnya sedang memegang senjata tajam? Berani-beraninya mengatakan sesuatu yang menyakitkan.
“Aku memang mau ke luar.”
Rian meninggalkan Adelia sendirian di dapur. Adelia kembali melanjutkan amanah dari Ibu Halimah. Sebenarnya ia tidak keberatan membantu ibu Rian menyiapkan makanan. Toh, berada di rumah ini lebih baik ketimbang disidang oleh Raka.
Tidak berlangsung lama, Ibu Halimah datang membawa dua plastik belanjaan berisi kue basah. Kemudian duduk di sebelah Adelia untuk menata kue-kue itu di piring.
“Maaf, ya, Del. Jadi ngerepotin.”
“Nggak, kok, Bu.”
Ibu Halimah sangat ramah dan baik hati. Bahkan Adelia sudah merasa nyaman ketika baru pertama kali mengenalnya. Berbeda sekali dengan Rian yang super menyebalkan.
“Jarang banget Mas Rian mau bawa teman cewek ke rumah. Biasanya tuh anak nggak mau dengerin Mama. Mama sering minta bawa Melty ke rumah, sampai sekarang nggak pernah datang.”
“Serius, Bu?” tanya Adelia penasaran.
“Permintaan Mama nggak pernah digubris. Mama juga butuh teman cerita. Soalnya di rumah sepi.”
Adelia tidak sengaja melihat pigura foto di atas meja. Menampakkan foto Raka, Ibu Halimah, dan seorang pria tampan mengenakan seragam pelayaran. Itu pasti ayahnya.
“Bapak sudah meninggal 3 tahun yang lalu. Kapalnya tenggelam.”
Adelia bisa melihat kesedihan yang tampak dari mata Ibu Halimah. Ada rasa rindu yang terbendung di dalam sana. Adelia hanya mendengar saja tanpa berani mengeluarkan suara. Mungkin inilah waktunya Ibu Halimah harus mengeluarkan isi hatinya.
“Sampai sekarang, Mas Rian nggak suka liat laut, sungai, kolam... semacam trauma.”