Adelia sedang memeriksa laporan praktikum di laboratorium, lalu mengamati satu persatu praktikan yang berhasil menyelesaikan tes masuk. Senyuman lebarnya mengembang tatkala melihat Rian berada di salah satu orang beruntung yang bisa lolos. Seakan ada rasa sombong karena bekat dirinya Rian bisa menjawab tes masuk praktikum.
Namun, cowok itu malah buang muka seolah tidak merasa bahwa Adelia telah membantunya. Tentu saja senyuman Adelia pudar seketika.
“Idih... nggak ada rasa terimakasihnya tuh orang!” gumam Adelia, kesal.
Hp-nya bergetar, ada pesan masuk dari Raka yang mengajaknya ke lapangan futsal malam ini.
Adelia mendengus kesal. Bukankah Raka bisa mengajak Novita? Kenapa harus dia?
Demi menjaga perasaan orang lain dan keselamatan diri sendiri, Adelia harus memberikan alasan yang tepat untuk menolak Raka.
Parahnya, seharian ini Adelia terus menolak ajakan Raka. Mulai dari main Dota bareng sampai makan siang. Adelia sudah nyaris kehabisan stok berbohong.
Lagian, ngapain sih si Raka masih mengajaknya jalan berdua? Fungsi pacarnya apa coba?
“Del, mau makan? Bareng, yuk!” ajak Raka ketika kebetulan melihat Adelia berjalan sendirian menuju kantin.
Adelia kaget bukan kepalang karena sudah rela-rela mengambil jalan memutar agar tidak bertemu dengan Raka.
“I... itu. Aku ada janji makan sama teman di Pramuka,” tolak Adelia lagi.
“Siapa?” tanya Raka dengan tatapan menyidik. “Cowok?”
“Si... si.... ah! Aku udah telat!”
Adelia putar balik dan berlari menuju parkiran motor.
Raka menatap punggung kecil yang semakin menjauh. Semenjak berita soal pernikahannya, Raka merasa kehilangan Adelia secara perlahan. Ada rasa kesal karena seharusnya cewek itu tidak perlu menjadi orang asing.
-oo-
Dada Adelia naik turun setelah menaikkan kecepatan larinya. Ternyata move on bukan hanya perkara mengorbankan perasaan saja, melainkan pengurangan jumlah kalori di dalam tubuh.
“Gini banget mau jauhin orang,” gumam Adelia, masih dengan napas tersengal-sengal. “Laper beneran pula. Nggak biasa ke Pramuka sendirian.”
“Terlihat jelas sedang menghindari orang.”
Jantung Adelia kembali merasakan kejut listrik. Matanya segera melemparkan tatapan membunuh kepada pemilik suara menyebalkan itu.
Rian. Cowok berwajah datar yang selalu berdiri di belakangnya secara tiba-tiba.
“Bisa, nggak? Tiap muncul jangan kayak hantu?”
Rian berjalan ke arah Adelia tanpa berniat untuk menjawab pertanyaan cewek itu.
“Aku lapar.”
Kening Adelia berkerut. “Trus?”
“Mundur dari motorku... sekarang!”
Adelia menatap motor yang didudukinya, lalu menyengir ke arah sang pemilik motor tersebut. Dia asal duduk saja karena kebetulan diparkir di bawah pohon.
Rian mengusir Adelia, namun yang diusir malah pindah posisi ke jok belakang. Rian duduk di depan dan bersiap mengenakan helm.
“Pantesan auranya daritadi seram. Ternyata ini motormu.”
Suara Adelia yang terasa dekat membuat Rian kaget. Ditengoknya ke belakang, ternyata memang masih bertengger di motornya.
“Kok, kamu nggak turun?”
Adelia memamerkan senyuman manisnya. Rian tahu itu hanya senyuman yang ada maunya.
“Hehe... ikut kamu makan... boleh?”
-oo-
Di lain tempat, di kantin kampus Mipa. Angga, Agesta, Hana, dan Raka sedang menikmati makan siang.
Raka terlihat masih kesal karena Adelia menolak ajakan makan siang. Biasanya tuh anak kegirangan apalagi kalau dibayarin. Sekarang malah menolak dan lari seperti orang kesetanan.
“Adel akhir-akhir ini jarang kumpul sama kita, ya?”
Ucapan Hana menghentikan suapan Raka. Bahkan Raka baru sadar jika Adelia juga jarang bersama dengan anggota Lab Fiskom.
“Masak, sih?” Agesta balik bertanya. “Sering nongol aja tuh anak.”