Hari senin dan hujan deras.
Adelia sudah membayangkan kenikmatan kasur kost ketika Raka sedang menjelaskan dinamika fluida. Apalagi sambil rebahan menonton drama Korea—di-support dengan gorengan panas. Adelia ingin cepat-cepat pulang setelah perkuliahan membosankan ini selesai.
“Persamaan 12 masuk di soal ujian,” ujar Raka yang membuat mahasiswanya mengeluh berjamaah.
Kecuali Adelia. Bukan karena menyukai rumus tersebut. Tapi, pikirannya hanya ingin pulang dan bermalas-malasan.
Raka mengakhiri perkuliahan dan segera melirik Adelia yang tampak biasa-biasa saja. Tidak ada rasa bersalah setelah ketahuan sedang dekat dengan cowok tanpa sepengetahuannya.
Sebelum Adelia meninggalkan ruangan, Raka segera menarik tasnya.
“Aduduh, kenapa lagi ini?” tanya Adelia.
“Kenapa kamu nggak cerita ke aku?”
“Cerita apa?”
“Kamu sudah punya pacar.”
Adelia berpikir keras. Sejak kapan dia punya pacar? Tapi, setelah diingat-ingat, ia pernah bohong perihal itu.
“Harus laporan dulu, ya?” tanya Adelia, pura-pura lugu.
“Nggak, sih.” Raka tampak menahan napas sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. “Karena setelah nikah nanti, aku nggak bisa main lagi sama kamu... aku boleh minta satu permintaan terakhir?”
Adelia bisa melihat tatapan memelas dari Raka. Ingin menolak, tapi tidak tega.
“Sekali aja,” pinta Raka.
Adelia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Sepertinya tidak ada salahnya menerima permintaan terakhir Raka.
Adelia menggangguk dan hal itu membuat Raka senang bukan main.
-oo-
Adelia tersenyum lebar—mengingat ajakan makan gratis di salah satu restoran mewah. Kapan lagi Raka tidak pelit masalah makanan mahal? Kebetulan juga keuangan Adelia sedang menipis. Lumayan buat makan malam.
“Pulang dulu, deh.”
Adelia berjalan ke parkiran motor. Mumpung hujan mulai reda, harus secepatnya pulang ke kost sebelum terjebak banjir besar. Dia tidak mau lagi mendorong motor gara-gara macet di tengah banjir.
Setelah menghidupkan motor, Adelia bersenandung ria di atas motor metik hitam kesayangannya. Menyanyikan sebuah lagu dari Peterpan dengan suara sengau. Lagu yang cocok dinyanyikan saat gerimis seperti ini. Apalagi...
“Hah?!” Adelia menghentikan laju motornya ketika Rian tiba-tiba berdiri di tengah jalan dan memegang kedua kaca spion. Beruntung ia berada di kecepatan 20 km/jam sehingga roda belakang motor tidak terpeleset di jalan licin begini.
Jantung Adelia berdetak tidak karuan karena kaget sekaligus salah tingkah. Organ tubuhnya mulai berkecamuk dan nyaris pindah posisi setelah tahu orang itu adalah Rian.
Tapi, kenapa harus salah tingkah? Seharusnya Adelia marah sekarang.
“Heh!” teriak Adelia sambil menunjuk Rian yang masih berdiri mematung. “Kalau mau bunuh diri jangan di lingkungan kampus! Nggak elit kalau diserempet di parkiran motor!”
“Mundur.”
“Hah?”
“Mundur, mundur!” Rian mengusir kedua tangan Adelia dari grib dan kini cowok itu yang mengambil alih kemudi.
Adelia yang masih belum mengerti situasi aneh yang dihadapinya—hanya menurut saja dan memundurkan tubuhnya ke jok belakang.
Apakah Rian numpang pulang dengan motornya? Helm yang Rian kenakan sedaritadi sedikit menjawab pertanyaannya. Tapi, kenapa harus dengannya?
“Kamu kenapa?” tanya Adelia.
Rian membenarkan letak kaca spion tanpa berkata sepatah kata pun. Lalu, menekan tombol starter dan meluncur ke lokasi yang diinginkan oleh Rian.
“Woy! Jangan culik aku!” jerit Adelia.
“Makanya... baca sms-ku!”
“Sms apa?”
Adelia mencari hp di dalam tasnya dan membaca pesan masuk dari Rian.
“Kenapa aku harus bantu acara syukuran di rumah kamu?! Kenapa harus aku di antara banyak cewek di dunia ini?!”
“Karena aku nggak ada pilihan lain. Nggak tega kalau memerintah teman-temanku.”
Buk!
Adelia mulai berani melakukan serangan fisik ke kepala Rian yang terlindungi helm. Dia lupa bahwa hukum Newton aksi-reaksi masih berlaku. Justru telapak tangan Adelia yang kesakitan hingga memerah.
“Aku ada janji malam ini,” kata Adelia.
“Sama siapa?”
“Itu... anu.” Adelia mulai gagu, seperti orang yang ingin berselingkuh. Kenapa dia malah gugup? Seharusnya janji makan malam bersama Raka bukan urusan Rian.
“Kalau itu janji dengan Bang Agesta atau Bang Angga, aku perbolehkan kamu pulang. Kalau itu Pak Raka... nggak.”
“Kenapa kamu jadi ikut campur, sih? Mau Pak Raka atau bukan, itu bukan urusanmu.”
“Semua urusanmu dengan Pak Raka adalah urusanku. Selain itu, urus saja sendiri.”
Adelia terdiam.
Tiba-tiba ada sensasi aneh di dalam perutnya. Seperti ada naga yang terbang sambil menyemburkan api di sistem pencernaannya. Detak jantungnya mulai tidak terkendali.
Kaget, senang, dan berbagai macam perasaan aneh menyelimuti hatinya.