“Ya Allah, ternyata barang dari Pak Raka lumayan juga!” jerit Adelia setelah memutuskan untuk mengeleminasi barang-barang pemberian Raka di dalam kost-nya.
Agar move on-nya lebih cepat, ada baiknya membuang kenangan saat menjalani hubungan tanpa status. Foto berdua, buang. Mug dengan wajah Raka, buang. Baju kaos yang sudah robek tapi sempat disayang-sayang, juga dibuang. Sepatu couple berwarna putih, buang.
“Hm.”
Adelia berdiri dan mengambil sepatu dari keranjang sampah. Kalau diperhatikan baik-baik, sepatu yang berlogo R itu masih bagus, apalagi harganya mahal. Di dunia ini, pemilik nama R bukan hanya Raka. Bisa jadi Rian.
Adelia kembali memperhatikan boneka babi kuning yang besar. Masih bagus buat pajangan dan koleksi.
Sepertinya ia tidak benar-benar membuang barang pemberian Raka 100 persen. Di dalam kardus siap buang hanya berisi barang-barang rusak yang tidak bisa digunakan lagi. Dulu sempat dikoleksi dan berencana membangun museum dari barang-barang pemberian cinta pertamanya itu.
Akhirnya, setelah 1 jam, kamarnya sedikit luas dari sebelumnya. Saatnya Adelia mempersiapkan barang yang akan digunakan besok ke Bontang.
Semenjak membantu keluarga Rian mengadakan syukuran, keponakan Rian yang bernama Rara selalu mengubungi Adelia setiap malam. Bocah 8 tahun itu yang memaksa Ibu Halimah untuk mengajak Adelia ikut liburan bersama.
Semenjak itu pula, Raka tidak pernah menghubunginya. Selama bertemu mata di kampus, cowok itu cuek-cuek saja dan membuat situasi semakin tidak nyaman. Adelia juga tidak punya keberanian untuk menegur sapa Raka.
Hubungan mereka jadi semakin canggung.
“Biarin aja, deh.” Adelia meregangkan badannya dan bersiap-siap untuk tidur.
Besok, perjalanan akan menyakitkan.
-oo-
Setelah tiba di Pantai Beras Basah, Adelia berlari masuk ke dalam toilet terdekat—tanpa menghiraukan panggilan Ibu Halimah. Bukan tidak sopan, perutnya sudah tidak bisa diajak kompromi. Perjalanan dari Kota Samarinda menuju Kota Bontang tidak terlalu jauh, tapi penyakit mabuk daratnya tidak bisa hilang.
“Mabuk, Del?” tanya Ibu Halimah yang segera bergegas membantu Adelia.
Ini adalah alasan Adelia membenci pengharum ruangan jeruk yang berkolaborasi dengan AC mobil. Hanya orang-orang rentan mabuk darat yang tahu rasanya.
Setelah merasa sedikit nyaman, Adelia menyaksikan pantai terbentang luas di depan matanya. Angin kencang menyapu helaian rambutnya yang lurus. Seketika rasa mualnya hilang mendengar suara ombak.
Adelia berlari menyisir pantai yang jauh berbeda dengan pantai sebelumnya. Warnanya lebih terlihat biru dan jernih.
“Indahnya,” puji Adelia ketika melihat kemerlap cahaya yang terpantul di lautan.
“Ngapain di sana, Del? Ayo nyebur!” kata Ibu Halimah yang sedang asik berenang gaya bebas.
Hati Adelia tertarik untuk bercebur ke dalam air meskipun tidak bisa berenang. Dia memberanikan diri ke air yang tingginya hanya sebatas lutut orang dewasa. Adelia berjongkok seolah-olah sedang berenang di laut dalam.
“Malu sama anak kecil.”
Adelia menoleh ketika mendengar nada dan suara menyebalkan itu. Ternyata sesuai perkiraan, Rian berdiri di tepi pantai dengan wajah angkuh.
Seingatnya, cowok itu trauma dengan laut. Kenapa traumanya mendadak hilang? Bikin dongkol saja.