Rian merasa—perjalanan dari Kota Samarinda menuju Tenggarong terasa sangat lama. Meskipun dia tahu—Fajar sudah melaju kencang dengan mobil. Pikirannya sudah tidak karu-karuan setelah membaca berita tenggelamnya kapal yang membawa rombongan peserta acara Telusur Sungai Mahakam. Parahnya, dia tidah tahu—Adelia salah satu peserta di acara itu.
Setelah dua hari menanam gengsi, Rian akhirnya mencoba menghubungi Adelia berulang kali. Namun, hanya suara operator yang menjawab panggilan Rian.
“Yan, 7 orang peserta selama, kok,” kata Fajar pelan. Berusaha untuk menenangkan perasaan teman sekelasnya itu. Dia tahu—Rian selama ini menyimpan rasa. Hanya gengsinya saja yang sulit dimusnahkan.
Rian tidak menjawab dan hanya memandang pohon-pohon di pinggir jalan. Apa hanya perasaannya saja—gerakan mobil ini semakin lamban?
Ah! Rian sudah tidak bisa mengendalikan rasa nyeri di dalam perutnya. Bahkan paru-parunya seperti sesak sedaritadi. Sensasi ini terulang lagi. Sensasi kehilangan seseorang yang berharga.
Apakah air kembali mengambil orang yang dicintainya lagi?
“Yan. Ayo.”
Tidak terasa sudah tiba di lokasi yang dipenuhi oleh warga dan tim penyelamat. Rian berusaha keluar dari mobil dengan rasa kram menjalar di betisnya. Memulai dengan memeriksa posko para korban yang selamat dari kecelakaan itu.
Diantara mereka—tidak ada Adelia.
“Masih tersisa 2 orang,” teriak tim penyelamat dari kejauhan.
Rian berdiri di depan garis polisi. Bibirnya terkatup rapat seakan tidak ada kata-kata lagi yang ingin diucapkan. Bahkan dia belum memberi kabar terbaru tentang Adelia kepada ibunya yang sudah pingsan dua kali di rumah.
-oo-
Adelia menghirup udara segar yang berhembus di tengah persawahan hijau di Kampung Sebulu. Dua hari tanpa sosial media dan suara Raka beserta gandengannya—membuat pikirannya jernih kembali. Sudah mulai kembali normal untuk tidak jatuh cinta dengan adik tingkatnya sendiri.
“Nggak nyangka ternyata kamu jago manjat.”
Suara Erna terdengar dari bawah. Adelia masih bertengger di dahan pohon rambutan yang tidak terlalu tinggi. Baginya, mencicipi buah langsung dari pohonnya terasa lebih nikmat.
“Aku belajar manjat pohon selama tinggal di kampung nenekku dulu,” jawab Adelia dengan mulut yang masih mengunyah rambutan.
“Kampung nggak ada sinyal itu, ya?” ejek Erna.
“Heh! Jangan ngejek. Dua puluh tahun ke depan, dia setara dengan kota.”
“Mama Papa kamu lagi liburan di sana, kan?”
“Ya. Sudah seminggu mereka di sana. Belum ada ngasih kabar. Beneran parah, sih, nggak ada sinyal sama sekali.”
“Ngomong-ngomong, kamu nggak sakit hati dibatalin Pak Darius tiba-tiba?”
“Malah senang.”
Sebenarnya Adelia tidak masalah dengan pergantian peserta mendadak setelah sudah duduk santai selama dua menit di atas kapal. Toh, kakak tingkatnya lebih butuh data kualitas air di DAS Mahakam. Apa salahnya mengalah?
“Hp-mu gimana?” tanya Erna lagi.
“Entahlah. Harus siap kena omelan lagi sama mama papaku.”
“Kamu, sih, suka amat lempar hp sembarangan,” sahut Erna sambil meregangkan tulang punggungnya.
Kini cewek berperawakan tambun itu duduk bersandar di bawah pohon sambil menikmati buah rambutan. Dia tidak peduli dengan suara cempreng Adelia yang mulai menyanyikan lagu Korea dengan lirik asal-asalan.
“Saatnya lihat gosip,” gumam Erna, mulai melakukan rutinitas membuka sosial media untuk mencari berita viral di Indonesia. Begitulah caranya menghilangkan stress selama kuliah.