Adelia masih belum memahami perlakuan aneh dari Rian semenjak kemarin. Cowok itu jadi lebih posesif dan lebih mirip bapak-bapak kepada anak perempuannya. Bahkan rela mengantar Adelia ke kampus hari ini—tanpa banyak bicara.
Cowok itu tidak mengatakan sesuatu yang spesial. Ngajak jadian—contohnya.
“Ah! Perasaan hantu memang susah ditebak,” gumam Adelia.
Kepalanya menghadap Agesta yang bermain menggunakan komputer lab. Hanya mereka berdua yang masih menetap di sini setelah perkuliahan berakhir.
“Hana gimana?” tanya Adelia, penasaran dengan kabar dari rekannya.
“Nggak tahu, deh. Pak Dekan murka. Terutama Pak Sugiono yang percaya banget sama dia.”
“Tapi... nggak sampai DO, kan?”
“Kurang tahu.”
Agesta melirik notifikasi hp yang membuatnya menarik napas kesal.
“Del, jagain game-ku. Jangan diganggu sama Angga. Aku mau ke ruangan Pak Yusuf dulu.”
“Ok.”
Adelia menghela napas panjang dan memalingkan wajahnya ke arah jendela. Tidak sampai seminggu, banyak peristiwa yang mengejutkan. Tapi, untuk sampai saat ini, Adelia tidak tahu—dan tidak mau tahu—tentang Novita dan Raka.
Itu adalah berita yang tidak ingin didengarnya sekarang. Pikirannya masih fokus dengan satu orang.
Rian.
Cowok penuh tanda tanya. Kadang menunjukkan sisi romantis, kadang menyebalkan. Memikirkan sifatnya yang suka berubah-ubah—membuat Adelia ragu. Apa mereka berdua cocok kalau menikah?
"Argh!" jerit Adelia yang bergulat dengan pikirannya sendiri. Malah memikirkan sesuatu yang mustahil.
Brak!
Pintu kembali terdengar terbuka. Adelia tidak menoleh ke arah sumber suara, paling-paling itu hanya Agesta yang lupa dengan barangnya. Dasar, mulai pikun.
“Langsung pada intinya saja. Aku batal nikah.”
Adelia menegakkan kepalanya dan berbalik menatap ke arah suara yang tidak asing. Itu bukan suara Agesta.