"Lo nangis?"
Nata langsung menghapus air matanya, tetapi sialnya cairan bening itu terus berderai, sangat sulit untuk dihentikan. Sekarang, berbohong pun ia tidak bisa. Rasa sesak yang menghimpit dadanya sungguh membuat Nata kesulitan mengontrol emosi.
Tirta menatap gadis di depannya, tidak ada suara, hanya isakan yang terdengar. Jujur, ini adalah pertama kali ia melihat Nata menangis. Ia ingin tertawa karena ekspresi gadis itu terlihat lucu saat terisak seperti ini, di satu sisi ia juga kasihan karena apa yang membuat Nata terisak sudah jelas sangat memukul hati cewek berumur dua puluh tahun itu.
"Lo pengen pulang?" tanya Tirta. Ia bingung harus berbuat apa. Tirta tidak tahu seni membujuk seseorang agar berhenti menangis.
Nata menggeleng sebagai jawaban. Nata seharusnya segera pergi dari sini, tetapi entah kenapa ia seakan tidak bisa bergerak. Ada rasa malu karena menangis di depan cowok yang ia sukai, tetapi Tirta sudah terlanjur melihatnya kacau seperti ini.
"Ngomong, dong, Nat," ucap Tirta sehati-hati mungkin.
"G-gue ma-" Nata menggantung ucapannya kala Tirta tiba-tiba beranjak dari atas motornya ke arah seorang gadis anggun yang sedang berderap ke mobilnya.
Hatinya mencelos. Rasa sakit di hatinya semakin menjadi-jadi. Nata menghapus air matanya dengan kasar. Harusnya ia tidak di sini, harusnya ia sudah pergi. Nata terus mengumpat di dalam hati, mengatai dirinya bodoh.
Kenapa suka sama lo bisa sesakit ini, sih, kesal Nata dalam hati.
Cowok berjaket bahan parasut itu seketika berhenti melangkah, tersadar akan sesuatu. Ia baru saja meninggalkan Nata yang sedang menangis. Dengan perasaan bimbang, ia melirik gadis itu sedang menghapus air matanya kemudian ia berbalik menatap Disya.
Betapa kagetnya Tirta saat melihat seorang cowok datang dari arah belakang Disya dan langsung merangkul pacarnya. Ia ingin menghampiri keduanya, tetapi dari balik punggungnya terdengar bunyi mesin motor, Tirta sontak berlari menghampiri Nata yang sudah membelokkan motornya. Dengan sigap, ia menahan besi jok belakang motor gadis itu. Menahannya agar Nata tidak pergi begitu saja.
"Ikutin gue," suruh Tirta saat melihat Nata menoleh sembari mengangkat kaca helmnya.
Kedua alis gadis itu bertaut tanda sedang bertanya. Tirta menggaruk tengkuknya yang tak gatal, lalu tersenyum singkat sembari menatap Nata. Tirta tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan, tetapi ia yakin tindakannya tidak akan salah.
"Ikutin gue dari belakang," pinta Tirta.
Nata menoleh ke kanan dan kedua netranya langsung melihat kehadiran Disya dan seorang cowok yang ia lihat tadi siang bersama Disya. Ia kemudian beralih menatap cowok di belakangnya. Otaknya berpikir berkali-kali lipat seperti pada saat mengerjakan soal matematika. Tirta sama sekali tidak mengampiri Disya dan malah mengajaknya entah ke mana.