Pagi ini aku bangun dengan perasaan aneh. Bukan karena anak-anak bersikap tidak seperti biasanya – mereka tetap ribut berebut remote TV, karena saluran favorit mereka berbeda, seperti biasanya. Tapi, ada yang berbeda di ponselku.
Aku punya match, di dating app. Untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun terakhir, ada pria asing yang menyapaku.
“Hai, kamu kelihatan matang dan berkelas.”
Matang dan berkelas? Ini aku baru bangun, masih bau minyak telon, rambut awut-awutan, dan dasterku kusut. Kalau ini yang disebut berkelas, maka standar dunia sudah perlu disesuaikan.
Aku scroll lagi.
Nama cowok itu: Reza, 38 tahun.
Profesi: Konsultan Keuangan.
Foto profil sedikit blur, agak miring, dan diambil dari dalam mobil dengan pose serius, menatap jauh ke luar jendela, seolah sedang memikirkan harga cabai yang naik.
Pose-nya mengingatkanku pada si cowok berjaket kulit yang semalam kulihat. Tapi, bio-nya cukup jelas dan berani.
“Single dad. Suka perempuan dewasa yang tahu apa yang dia mau. Aku nggak main-main, karena hidupku ini udah cukup melelahkan,” ucapku membaca salah satu kolom tentangnya.
Hmm ... aku belum tahu harus merasa tertarik atau mengabaikannya. Aku belum membalas pesannya, masih bimbang, tapi rasa penasaran itu pelan-pelan mulai mengalahkan semua keraguan ini.
“Apa salahnya ngobrol? Kan belum tentu jodoh. Bisa jadi teman cerita, atau minimal bahan obrolan dengan si Nuri.”
Kupencet ikon pesan. Mengetik pelan-pelan.
“Hi Reza, terima kasih udah menyapa. Salam kenal juga.”