Jurnal Janda Populer : Mencari Cinta

Ayu S Sarah
Chapter #3

Zoya Lestari

Pagi ini aku bangun bukan karena notifikasi, bukan juga karena chat dari pria asing yang hobi meditasi dan healing. Aku bangun karena teringat nasi yang mulai menguning di rice cooker, dan tentu saja, suara dua anak laki-lakiku yang kali ini ribut memperebutkan sendok favoritnya.

“Ini sendokku! Yang gambar dinosaurus!”

“Bukan! Itu punyaku! Kamu kan suka yang gambar truk!” 

Aku menghela napas, lalu tertawa kecil. Beginilah rumahku setiap pagi; riuh, ramai, dan penuh tumpukan piring kecil yang tidak pernah cukup bersih dalam sekali bilas, seperti kapal pecah – tapi kapal yang kutumpanginya dengan cinta.

Setelah mengantar Arjuna dan Bima ke sekolah, aku menuju kedai kecilku di sudut jalan. Tempat itu awalnya cuma bangunan kosong warisan dari almarhum Bapak. Tapi sekarang, aku ubah jadi tempat nyaman untuk duduk sendiri, atau kalau perlu untuk menyembuhkan hati – tentu juga tempatku mencari nafkah.

Kedainya kecil, tapi menurutku hangat. Ada rak buku di pojok – tempat semua buku yang habis kubaca, kusimpan di sana, dua sofa empuk hasil thrifting, dan playlist 90-an yang selalu diputar dari speaker tua; dari Sheila on 7, The Corrs, sampai Coldplay versi akustik. Aku menamakan kedai ini, “Ruma” – karena di sinilah hampir semua waktuku kuhabiskan, tempat aku menyalurkan hobiku, dan bisa jadi tempat ini juga menjadi rumah singgah bagi siapa saja yang butuh diam sebentar dari dunia.

Seperti biasa, pelanggan “pagi” tetapku datang. Pak Saleh, pensinan guru sejarah, selalu duduk di pojok dengan koran pagi dan menu yang sama ; kopi hitam tanpa gula, dan pisang goreng ditaburi gula merah jadi pesanannya. Kadang aku menyapanya, duduk sebentar di sebelahnya – karena dia mengingatkan pada bapak.

Ada juga wanita muda yang hampir setiap hari datang hanya untuk menatap layar laptopnya, lalu menulis cepat dengan ekspresi tegang – entah dia kerja, atau menulis naskah sinetron. 

Lihat selengkapnya