Setelah Kopdar yang bikin aku merasa seperti properti pendengar pasif selama dua jam – terima kasih, Mas Narsis – aku pulang dengan satu perasaan yang mengendap seperti ampas kopi, kalau, aku rindu didengarkan.
Di layar ponselku, masih ada satu pesan yang tertunda kubalas sejak kemarin dari BapakLiterasi_76.
“Zoya, aku suka sekali profilmu. Kamu terdengar nyata, seperti seseorang yang tidak menulis untuk menyenangkan siapa pun. Jika kamu tidak keberatan, bisakah kita ngobrol? Soal hal-hal kecil yang bikin kita bertahan tiap hari atau apapun, asal kamu nyaman?”
Aku menatap pesan itu cukup lama, membaca kalimat itu pelan-pelan. Pesannya kali ini, tidak mencoba menjual dirinya, tapi justru terasa seperti sebuah tawaran untuk duduk bareng, mungkin dengan ditemani segelas kopi dan percakapan yang tidak harus punya tujuan.
Kulihat profilnya, profilnya singkat tapi bernyawa.
Nama : Bayu, 47 tahun.
Duda anak satu.
Mantan editor buku.
Penyuka senja, dan pengingat tanda baca yang salah kaprah.
Aku tertawa kecil membaca bagian terakhir profilnya. Entah kenapa, “pengingat tanda baca yang salah kaprah” itu terasa sangat spesifik dan menggelikan. Atau mungkin memang pria-pria yang tahu cara menggunakan titik dan koma, kini menjadi spesies langka.
Kuperhatikan fotonya – wajah bersih dengan senyum sedikit malu-malu, dan latar belakangnya rak buku penuh, beberapa judul buku yang kutahu, ada Pramoedya, Ruth Ozeki, dan – wait – itu Chicken Soup for the Soul?. Astaga, menarik banget.
Aku akhirnya membalas pesannya, aku mengetik pelan-pelan, “Halo, terima kasih pesannya. Aku juga suka profilmu. Seorang pengingat tanda baca yang salah kaprah, sepertimu, pasti nggak akan tahan baca chat yang tidak sesuai Rumus EYD[1].”
Beberapa detik kemudian, dia membalas, “Haha.. kadang aku memang pengen koreksi. Tapi lebih sering aku koreksi diri sendiri sih, biar nggak gampang ilfeel cuma karena typo.”
“Tapi, percaya deh, tanda baca itu penyelamat. Apalagi saat kita lagi belajar menyampaikan isi hati kita dengan benar.”