Aku menatap ke luar jendela kedai malam ini, membiarkan lampu jalanan menari-nari di pantulannya. Hari ini, tidak ada suara anak-anak yang berantem merebutkan apapun– mereka sedang berlibur ke rumah neneknya.
Suasana kedai hari ini ikut sunyi, sementara lagu-lagu melow mengisi keheningan yang sudah tercipta. Aku menutup mata sejenak, tiba-tiba wajah Dimas muncul – pria yang mewarisiku dua jagoan kecil.
Kami pertama kali bertemu di pantry kantor, sepuluh tahun yang lalu. Dia berdiri di ambang pintu, memegang gelas kopi, menoleh ke arahku dengan wajah mengantuk sambil tersenyum ramah – bukan senyum yang menggoda, bukan juga yang membuat jantungku berdebar, hanya senyum sederhana yang membuatku ingin mengenalnya.
Dimas Bayu bukan tipikal pria yang mencuri perhatian, setelah itu aku jadi sering memperhatikannya, dia ternyata tidak banyak bicara, tapi punya cara mendengarkan yang menyenangkan. Sekali waktu, aku menyapanya, dari situlah kita mulai akrab. Saat aku stres dengan deadline, dia datang menawarkan es krim. Saat aku menangis di ruangan meeting kosong, dia duduk di sampingku tanpa berkomentar, dan menyerahkan tisu.
Dimas tidak pernah mengumbar rayuan gombal, tidak pandai merayu, dia itu tenang. Saat itu, usiaku sudah ingin sekali mulai menjalin hubungan serius dengan seseorang, aku pikir, Dimas yang ‘tenang’ adalah kualitas terbaik yang bisa kupilih sebagai pasangan untuk hidup yang panjang ini. Dalam hidup yang penuh dengan tekanan, aku pikir aku butuh seseorang yang tidak akan membuat banyak kegaduhan.
Akhirnya, kami berpacaran tanpa drama, dan setelah hampir satu tahun kami memutuskan menikah – tanpa pesta mewah. Pada saat dia mengutarakan keseriusannya, dalam angan akan ada lamaran romantis – nyatanya tidak ada lamaran romantis, tidak ada candle light dinner, hanya satu obrolan di dalam mobil, di parkiran kantor.
“Kalau aku serius, kamu mau?”
Pada saat itu aku mengiyakan ajakannya. Dan aku ingat betul kalimat yang dia ucapkan setelah kami sah menjadi suami istri, dia berkata, “Semoga kamu nggak bosen bersama denganku yang biasa-biasa aja ini.”
Aku pikir waktu itu, ‘biasa aja’ berarti stabil. Tapi ternyata, setelah menjalaninya, arti ‘biasa aja’ bisa juga berarti lain. Naifnya aku dulu berpikir kalau cinta bukan soal hati yang terus berdebar saja, cinta adalah memilih seseorang yang akan tetap duduk di sebelahmu saat kamu membutuhkanmu. Tapi aku lupa, bahwa cinta juga perlu tumbuh.