Saat dunia mulai tenang, aku membuka aplikasi dating app. Bukan untuk mencari cinta – tidak berharap banyak. Aku hanya ingin hiburan ringan, obrolan santai, atau minimal seseorang yang bisa memberitahuku info terkini tarif impor dan ekspor dan dampaknya pada harga minyak goreng.
Lalu muncul, satu match baru. Andra, 27 tahun – foto profilnya duduk di bean bag, memluk kucing berwarna putih, dengan caption : “Inner peace found in your embrace someday.”
“Lulusan Ekonomi. Pendengar yang baik. Sedang mencari perempuan dewasa yang bisa jadi rumah.” Membaca bio-nya.
Aku mengangkat alis. Oke, ini agak kejauhan umurnya, tapi menarik juga. Bio-nya cukup sopan dan manis. Pesan darinya muncul cepat.
“Hi Zoya. Aku suka perempuan dewasa, yang sudah paham diri, nggak banyak drama, tenang kayak pelukan setelah hari panjang yang melelahkan. Mbak Zoya, kamu kayanya tipe itu deh.”
Aku tertawa kecil, ‘Mbak Zoya’? rasanya kayak kakak tingkat yang mau dimintain bimbingan skripsi, tapi karena penasaran, aku membalas. Dan ternyata, obrolan kami malah mengalir. Dia bercerita tentang masa kecilnya, tentang kehilangan ibunya, dan aku mendengarkan. Aku paham kehilangan bisa membentuk seseorang jadi lebih sensitif. Awalnya aku simpati, tapi makin lama, makin unik.
“Mbak, kamu suka masak menu rumaha ya?”
“Aku suka banget aroma minyak telon, nenangin, mbak pakai juga nggak?”
“Aku tuh suka perempuan yang bisa jadi tempat aku minta peluk waktu aku capek. Mama dulu gitu.”