Malam selalu menjadi waktu yang pas untuk hanyut dalam aplikasi dating app, aku mulai ketagihan – notifikasi lucu, profil-profil absurd, dan kadang bisa jadi hiburan kecil sebelum tidur. Tujuanku kini bergeser, bukan lagi mencari jodoh, tapi semacam riset sosial bercampur guilty pleasure.
Kulirik deretan nama-nama di daftar match-ku. Satu nama, kuklik : Abdan, 39 tahun. Foto profilnya cukup menarik, tapi formal banget.
“Mencari istri salihah, yang mau membangun rumah tangga sakinah, mawadah, warahmah. Tidak mencari teman ngobrol, tapi teman seumur hidup. Fastabiqul khairat[1].” Tertulis di bio-nya.
“Mas ini serius banget ya.” Aku mendesah pelan.
Tapi, aku tetap membalas pesannya, sekedar iseng, siapa tahu dibalik kalimat-kalimat penuh tekad itu ada sisi manusiawi yang bisa diajak ketawa bareng.
“Assalamualaikum, Zoya. Terima kasih sudah menerima match ini. Apakah kamu siap menikah dalam waktu dekat?”
Langsung tembak di tempat, tanpa pemanasan. Rasanya seperti sedang sesi wawancara lamaran kerja untuk posisi “istri”. Aku balas, “Waalaikumssalam, Mas Abdan. Mungkin kita bisa kenalan dulu sebelum membahas catering resepsi?”
Dia membalas lagi, dan panjang tetap pada jalurnya.
“Zoya, saya tidak ingin buang waktu. Saya pernah gagal dalam pernikahan sebelumnya karena terlalu lama pacaran. Sekarang, saya ingin yang cepat, sesuai syariat. Kalau kamu terbuka untuk taaruf[2], saya ingin segera bertemu.”
Aku belum pernah ditawari jadi istri dalam waktu kurang dari 15 menit. Bingung, aku langsung kirim pesan ke sahabatku.
Zoya Lestari : Mak, gue baru aja diajak nikah.