“Aku ada di kotamu.”
Pesan berisi kalimat pendek itu muncul di layar ponselku, tepat saat aku baru saja menyelesaikan satu jurnal : “Rehat dari swipe kanan-kiri.”
Pesan itu masuk tepat saat anak-anak sudah tenang, sederhana, empat kata, tapi rasanya seperti satu bab baru yang terbuka – di saat aku bahkan belum menutup bab yang lama. Aku membacanya sekali, dua kali, aku menatap layar ponselku lama, seakan-akan deretan kata itu bisa berubah jika aku menunggu cukup lama, tapi tidak, kalimat itu tetap sama.
Hatiku yang semula sunyi, mendadak gaduh. Jantungku seperti menolak komando untuk dikendalikan, gugup, hangat, dan bingung. Bukannya aku baru saja berencana ingin rehat dari semua ini, dan memutuskan untuk berhenti berharap dari sesuatu yang tidak pasti?!
“Aku ada di kotamu.” Gumamku pelan, seolang ingin memastikan kalimat itu nyata.
Mas Editor – Bayu, yang selama ini terasa hidup lewat kata-kata, yang hadir di malam-malam lewat pesan-pesannya dan diskusi penuh tawa, dan percakapan hal-hal kecil dan yang terasa begitu pengertian. Pria yang kutandai sebagai teman bicara yang terlalu jauh untuk disentuh, tapi terlalu sayang kalau diabaikan. Dan sekarang, dia menyempatkan dirinya untuk bisa sedekat ini denganku.
“Kalau semua pria seperti dia, mungkin aku tidak akan selelah ini.” Pikirku.
Aku membiarkan pesan itu menggantung, tidak langsung kubalas – bukan karena gengsi, tapi karena aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Apa aku harus menjawab ; “Kok nggak bilang-bilang dulu?” atau “Mau ketemu?” atau… “Kenapa baru sekarang?”
Tapi yang keluar justru ini, “Sendirian?”
Dia membalas cepat. “Iya. Lagi di coffee shop, nggak jauh dari rumahmu. Mau ketemu?”
Aku diam. Kubuka notifikasi lain, kubuka ulang jurnal yang tadi kutulis. Kubuka playlist mellow, kubuka segalanya – selain hatiku.
Aku menarik napas panjang, menutup mata. Memikirkan hal-hal seperti ; kalau aku ke sana, apa yang akan terjadi? Kalau aku menolak, apa aku akan menyesal? Atau lebih dari itu, apakah kehadiran ini hanya kejutan manis sesaat? Apakah ini bentuk baru dari ilusi, atau justru keberanian yang selama ini aku cari?
Aku bangkit. Memutuskan untuk menemuinya, yang datang tanpa diduga. Tanpa rencana, tanpa riasan. Mengenakan pakaian seadanya, hoodie, celana jeans, dan jantung yang berdebar tanpa ritme yang pasti.
Di sepanjang perjalanan, pikiranku terus melayang – apa maksudnya datang tiba-tiba? Kenapa sekarang? Kenapa saat aku sedang ingin berhenti?
Aku sampai di kedai kopi kecil di pojok jalan – yang dulu pernah kusebut padanya dalam obrolan ringan tempat favoritku melarikan diri dari dunia.