Aku baru saja selesai membuat sarapan. Piring plastik warna biru dan hijau milik si kembar sudah berderet rapi di atas meja. Suara tawa mereka saling bersahutan dari kamar, rebutan perhatian. Seperti biasa, seperti hari-hari lain sejak aku belajar menjadi segalanya untuk mereka.
Teringat, semalam ada satu notifikasi dari seseorang yang membuat jantungku berhenti sebentar. Saat kulihat lagi nama yang muncul di notifikasi – Dimas. Jantungku kali ini bukan cuma berhenti sebentar, tapi sekarang seperti terjatuh dari ketinggian.
Perasaan ini, bukan rindu, tapi marah.
Aku menatap layar lama sekali, satu kalimat yang seharusnya biasa saja, tapi terasa seperti paku yang menghantam pintu lama yang sudah lama kututup rapat.
“Boleh ketemu anak-anak?”
Rasanya ingin langsung kujawab : Sekarang kamu ingat mereka? Setelah bertahun-tahun menghilang? Setelah aku jungkir balik sendiri membesarkan mereka?
Tapi aku diam. Mengigit bibir. Mendengar suaraku sendiri di dalam kepala. Aku sedang lelah dengan duniaku – dunia dating app. Aku juga takut, anak-anak akan berharap sesuatu darinya, lalu malah tersakiti.
Perlu waktu yang panjang sebelum aku melanjutkan melihat isi pesannya.
“Aku tahu aku bukan ayah yang baik selama ini. Aku banyak hilang. Tapi aku ingin memulai lagi. Bukan untuk kita, Zoya, tapi untuk mereka, boleh?”
Kalimat itu membuat dadaku bergemuruh. Aku tidak siap. Aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayai kata-katanya. Dan yang paling membuatku geram adalah dia datang hanya dengan permintaan, tanpa kata maaf yang utuh dan tulus. Seolah cukup dengan “aku tahu bukan ayah yang baik selama ini,”, lalu semuanya akan beres.
Aku berdiri dari tempat tidur, mondar-mandir di kamar. Kenapa sekarang? Kenapa bukan waktu-waktu saat aku panik karena anak-anak demam tinggi? Saat aku menangis di kamar mandi karena tidak sanggup membeli mainan impian mereka? Saat suatu hari akhirnya muncul pertanyaan, “Ibu, apa aku tidak punya Ayah?” dan aku harus menjawab sambil menahan tangis.
Kupandangi ponsel itu lagi. Aku ingin menolak, dan ingin sekali menuliskan kata, “Terlambat.” Tapi, saat kulihat wajah si kembar di dinding, foto-foto mereka sejak bayi, hatiku melemah.
Sudah lama dia tidak muncul. Tidak menanyakan kabar, tidak bertanya tentang anak-anak, dan tentu saja tidak muncul di layar ponselku, sejak perceraian itu final. Lama-lama, aku belajar menghapus ekspektasi. Tidak ada dalam kamus hidupku, berharap apa pun darinya, bahkan mencoba untuk tidak marah, hanya kosong. Tapi kenapa, dia tiba-tiba datang – dengan kata-kata yang mengembalikan segalanya.
Tanganku bergetar. Rasanya seperti membuka laci lama yang penuh debu – laci yang pernah kututup rapat-rapat dengan luka, kecewa, dan semua kalimat yang dulu tidak sempat aku ucapkan. Pundakku menegang, tenggorokanku terasa kering. Di tengah pergolakan dalam diriku, pikiranku sempat terseret kembali ke masa lalu.