Jurnal Janda Populer : Mencari Cinta

Ayu S Sarah
Chapter #15

Bayu, dan Paragraf yang Tertunda Titiknya

Setelah kedatangan Dimas di rumah ini, dan kepulangannya, rumah ini kembali seperti semula. Namun kenapa terasa lebih sunyi dari biasanya, tapi sunyi yang berbeda. Bukan karena sepi dari suara, tapi karena dadaku baru saja penuh oleh sesuatu yang belum sempat aku beri nama.

Arjuna dan Bima kembali ke aktivitas mereka – seperti biasa, seperti tidak ada yang berubah. Tapi aku tahu, dari sorot mata kecil mereka, ada ruang baru yang sudah dibuka, ruang tentang seorang ayah. Tentang sesuatu yang belum pernah benar-benar mereka kenal sebelumnya.

Aku sendiri? Aku sedang duduk di sofa, dengan segelas teh yang sudah dingin sejak satu jam yang lalu. Ada rasa nyaman, tapi juga getir. Kerena aku ingin percaya bahwa Dimas benar-benar akan menjadi ayah yang hadir, meski tertatih. Tapi aku juga tahu, harapan itu seperti kertas tipis : bisa sobek kapan saja, dan aku tidak punya tenaga lagi untuk menjahitnya kembali.

Hari-hari setelahnya berlalu seperti biasa. Sekolah, sarapan, antar-jemput, pekerjaanku di kedai, dan sesekali cek notifikasi di aplikasi kencan yang semakin jarang kubuka. Aku lelah – bukan karena hidup, tapi karena selalu harus terlihat baik-baik saja. Aku ingin jeda.

Tapi, di antara semua itu, ada Bayu. Dia yang selalu hadir dengan tenang, tidak pernah memaksa, dan tahu kapan harus ada.

Beberapa hari kemudian, Bayu datang ke rumah – membawakan oleh-oleh dari Jogja : Bakpia rasa coklat dan keju untuk si kembar, dan satu bungkus kecil kopi buatku.

“Kayanya kamu butuh ini lebih dari aku,” katanya sambil menyodorkan bungkusan kopi itu. Senyumnya, seperti biasa, terasa nyaman.

Kami duduk di teras, sore yang teduh. Anak-anak bermain sepeda di depan rumah. Aku dan Bayu sambil memperhatikan si kembar, kita terdiam cukup lama, bukan karena tidak nyaman. Aku belajar darinya, karena hening adalah salah satu cara dia untuk memahami.

“Aku balik besok,” katanya pelan.

Aku mengangguk, mencoba untuk tidak menunjukkan kecewa. “Banyak kerjaan di Jogja ya?”

“Lumayan.” Katanya, dan melirikku sekilas. “Kamu terlihat lebih baik dari terakhir bertemu di kedai kopi.”

“Maksudmu?”

“Terlihat lebih semangat dari terakhir aku lihat. Mungkin kamu telah bertambah kuat semenjak pertemuan dengan Dimas.”

Kalimat itu membuat mataku panas, tapi aku tidak menangis. Aku hanya mengangguk perlahan.

“Inget ya, kalau kamu butuh teman, kamu punya teman baru yaitu aku.” Tambahnya.

Kami tidak sempat banyak bercerita, karena mengejar waktu keberangkatan kereta yang sudah dipesan olehnya. Tapi sebelum dia pulang, Bayu memanggilku pelan, “Zoya,”

Lihat selengkapnya