Jurnal Janda Populer : Mencari Cinta

Ayu S Sarah
Chapter #16

Haruskah Pintu Itu Kubuka?

Ada beberapa nama yang jika disebut, tidak langsung menyakitkan, tapi cukup menggangu ritme napas. Seperti bunyi piano yang tutsnya tidak sengaja terpijak di malam yang sunyi – pelan, begitu menggetarkan. Begitulah nama Baskara, jika seseorang menyebutkan namanya. Sama halnya, jika dia tiba-tiba muncul di layar ponselku, detak jantungku tidak pernah berhasil bersikap biasa.

Hari ini, udara Bandung agak berdebu. Aku sedang duduk di sebuah taman kecil dekat dengan kedai kopi milikku, yang biasa kucari saat ingin melamun, yang kujuluki “ruang melamun”. Tempat aman untuk sejenak bersembunyi dari rutinitas.

Dan hari ini, kenangan itu datang dalam bentuk notifikasi. Baskara mengirim pesan. Lagi. Padahal pesan sebelumnya belum sempat kubalas.

“Zoy. Boleh ketemu? Aku di Bandung. Sepertinya, aku punya banyak hal yang belum sempat kusampaikan waktu itu.”

Jantungku berhenti sepersekian detik. Rasanya seperti ada folder lama yang tiba-tiba terbuka sendiri di dalam ingatan. Tanpa izin, dan tanpa memberi aba-aba.

Baskara bukan mantan kekasih, tapi juga bukan sekedar teman biasa. Kami pernah dekat, sangat dekat, di masa ketika aku belum benar-benar mengenal yang namanya luka. Dia hadir seperti lagu akustik yang kutemukan di malam sendu – merdu, penuh jeda, mendayu-dayu, terasa jujur. Dia tidak pernah memaksa, tapi juga tidak pernah benar-benar pergi dari benakku.

Kami sempat saling mengisi celah atau ruang atau mungkin kebutuhan akan pengertian yang tidak bisa diucapkan. Sebelum dunia memilih jalan yang berbeda untuk kami. Baskara harus ke luar negeri, dan aku? Aku tetap di sini – menjadi seseorang yang mencoba mencari tahu arti cinta namun berakhir tidak sesuai harapanku, dan akhirnya memilih bertahan dalam kehidupan yang pada akhirnya menenggelamkanku dalam peran dan luka yang panjang. 

Pesan terakhir darinya dulu singkat – nyaris seperti doa setengah percaya, yang dia kirimkan waktu itu, “Kalau kita jodoh, semesta pasti nggak akan lupa caranya menyatukan kita.”

Lalu dia hilang, pergi begitu saja dari hidupku.

Kini dia kembali. Entah kenapa. Entah untuk apa.

Aku belum membalas pesannya satu pun. Tapi pikiranku mulai terisi oleh warna-warna lama – ingatan akan suara tawanya, caranya menuliskan puisi di balik buku catatan lusuhnya, dan kopi hitamnnya yang selalu pahit.

“Aku suka rasa yang jujur,” katanya dulu. “Bahkan kalau itu pahit, seperti kopi ini.”

Lihat selengkapnya