Jurnal Janda Populer : Mencari Cinta

Ayu S Sarah
Chapter #17

Baskara & Warung Pasutru

Singkat cerita, aku dan Baskara akan bertemu siang ini. Di Warung Pasutru, dekat kampus – tempat yang dulu nyaris jadi rumah kedua kami.

Menapaki jalan ke sana, setiap langkahku terasa seperti menyusuri potongan hidup yang pernah kugenggam bersamanya. Ada aroma kenangan yang menguar di sela angin siang, ada bayang-bayang tawa kami yang tergelincir di sela trotoar.

Kata seorang penulis, “Kedekatanmu kepadaku sedekat hati dalam diriku.”. tapi untukku, kedekatan kami seperti nadi – mengalir di setiap jengkal tubuhku. Bukan hanya dekat, tapi hidup.

Warung Pasutru masih berdiri di tempat yang sama. Meski atapnya kini lebih mengilat, bangkunya lebih banyak dari dulu, dan temboknya penuh coretan mural bertema kekinian. Tapi suasananya tetap hangat – seperti berseliweran di udara, bercampur aroma nasi goreng telur asin dan es teh manis. Mereka duduk berkelompok, berbagi cerita sambil berharap : makan kenyang, dompet aman.

Ah, masa-masa itu. Masa saat hidup terasa ringan, seolah dunia hanya sebesar kampus, kosan, dan warung pinggir jalan.

Aku memilih duduk di bangku sudut, yang dulu sering jadi tempat kami menyusun mimpi – dan kadang saling diam, hanya karena perdebatan kecil soal teori sastra atau pilihan hidup. Kini bangku ini jadi semacam altar kenangan.

Tanganku sedikit gemetar saat meraih gelas, mungkin karena cemas, apa mungkin karena tidak sabar, atau mungkin… karena aku tahu, dalam beberapa menit ke depan, masa lalu yang selama ini kutahan rapat, akan datang membawa wajahnya.

Aku sedang menyesap es teh manisku saat suara itu datang.

“Zoya?” dengan suara lembut, ragu, tapi tetap nyaman di telinga.

Aku menoleh pelan. Dan di sanalah dia, berdiri dengan senyum yang sedikit gugup – tapi tetap menawan, seperti yang kuingat. Rambutnya kini lebih pendek, tubuhnya lebih atletis, tapi matanya terasa masih sama. Namun, sekarang terlihat ada keraguan, ada penyesalan, ada sesuatu yang sepertinya belum selesai. 

“Baskara.”

Nama itu meluncur begitu saja, tanpa dendam, tapi juga belum sepenuhnya ramah. Dia menarik kursi di seberangku, duduk dengan hati-hati, seolah takut gerakannya bisa merusak keseimbangan duniaku yang baru saja kutata ulang.

“Kamu kelihatan… sehat.” Katanya, berusaha membuka pembicaraan.

“Dan kamu kelihatan… berbeda.” Jawabku.

Dia tertawa pelan. Tawa yang dulu bisa meredakan amarahku, kini terdengar asing – tapi tidak sepenuhnya tidak nyaman.

“Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Zoy. Tapi makasih ya, udah mau nyempetin ketemu.” 

Aku hanya mengangguk. Diam sesaat, lalu berkata, “Mulailah dari saat kamu memutuskan untuk pergi ke luar negeri, atau dari yang belum kamu sampaikan waktu itu.”

Dia menarik napas panjang. Matanya menatap meja, lalu menatapku dalam. “Aku harus mengejar mimpiku.”

Lihat selengkapnya