Malam-malam sejak pertemuan itu, aku mulai mengizinkan ingatan-ingatan itu tinggal lebih lama. Aku mulai menyadari, ternyata ada banyak hal yang dulu tidak benar-benar kupahami – barangkali dari tanda-tanda kecil, atau kalimat-kalimat yang dulu hanya kutanggapi dengan senyum, dan kuanggap candaan.
Sore itu, aku membuka kembali folder lama di laptop – tempat tulisan-tulisan dari Baskara dulu kusimpan. Cerita-cerita pendek, potongan puisi, bahkan draft surat yang entah kenapa pernah dia kirimkan padaku tanpa benar-benar dijelaskan maksudnya. Dulu, aku tidak terlalu memperhatikan. Tapi sekarang, kalimat-kalimat itu terasa berbeda.
Dalam salah satu tulisannya, dia menulis, “Saat kita menyayangi seseorang, tapi tidak tahu bagaimana caranya untuk mengungkapkannya, karena terlalu takut merusak apa yang sudah terjalin indah.”
Aku tenggelam dalam ribuan kata, dan di sela-sela kenangan yang datang, muncul kabar sama dari kawan-kawan lama – tentang tekanan besar dari keluarganya untuk menerima beasiswa ke luar negeri itu, tentang keberangkatannya yang mendadak, dan tentang malam terakhir sebelum kepergiannya – malam yang ternyata sama beratnya baginya, seperti untukku.
***
Malam itu, langit begitu gelap tanpa bintang. Lampu jalan yang temaram menjadi satu-satunya cahaya di bangku kayu panjang di sudut Warung Pasutru. Aku duduk dengan tangan menggenggam gelas kopi yang sudah dingin.
Baskara datang agak terlambat. Wajahnya lelah, tapi senyumnya tetap hangat.
“Maaf ya, telat. Tadi ada urusan di fakultas.” Katanya sambil duduk dan menarik napas panjang.
“Ada kabar apa?” tanyaku.
“Aku keterima program pertukaran pelajar di Amsterdam.”
Aku terkejut, bibirku menganga sedikit, tapi tidak ada kata yang keluar.