“Apa yang akan kamu tahu nanti, bisa mengubah cara kamu melihat dia.”
Satu kalimat yang Rania katakan terus bergema di kepalaku. Dan sejak malam itu, tidurku tidak pernah benar-benar nyenyak. Bahkan ketika mataku terpejam, pikiranku terus menelusuri lorong-lorong lama yang sudah berdebu.
Malam ini, entah dorongan dari mana, aku menyalakan laptop. Folder bernama “Pasutru Days” masih ada di sana, tidak pernah kusentuh sejak kepergiannya – sesuatu yang terlupakan aku telusuri. Kuklik satu per satu – foto, catatan, dan potongan pesan yang pernah terasa biasa, kini semakin menambah potongan puzzle yang menuntut untuk disatukan.
Di antara tumpukan itu, aku menemukan satu hal yang aneh : sebuah potongan percakapan antara Baskara dan seseorang bernama “R”. Pesannya singkat, hanya tetulis : “Sabar. Cuma sampai proyek ini kelar. Setelah itu gue jelasin ke dia.”Siapa “dia” yang dimaksud? Aku? Atau orang lain? Jantungku mulai tidak beraturan.
Aku mencoba mencari akun lama Baskara di media sosial. Foto profilnya sudah buram, tapi aku mengenali bahu tegap itu. Di bagian bio, dia menuliskan satu kalimat : “Beberapa rumah memang harus kita tinggalkan, bahkan ketika kita ingin tinggal.” Kalimat itu membuat perutku terasa mual. Rumah? Bukankah aku yang dulu dia sebut rumah?
Tidak puas, aku menghubungi teman lama kami, selain Rania dan Ardi. Fajar, membalas pesanku dengan cepat.
“Lo nggak denger ya? Waktu itu dia nggak pergi sendirian…” Pesan itu membuatku terdiam lama, menatap layar ponsel seperti baru saja membaca vonis.
Aku tidak tahu apakah siap mendengar kelanjutannya, tapi aku tahu satu hal – aku sudah terlalu jauh untuk berhenti. Aku menunggu Fajar di sebuah kedai kopi kecil di ujung jalan dekat kampus, tempat kami dulu sering nongkrong bareng Baskara.