Nama gue Septo, manusia paling tampan--menurut gue sendiri--yang selalu hidup sejahtera meski tanpa pacar. Gue bekerja sebagai detektif swasta bidang perhantuan bersama seorang sahabat, Joe namanya. Mukanya standar, mirip standar motor karatan, tapi hebatnya dia udah laku, sedangkan gue belum.
Jasa detektif ini sengaja dibuat untuk mengenang geng misteri kami yang udah bubar. Anggotanya keluar satu per satu karena sedang sibuk dengan dunia normalnya sendiri. Sedangkan gue dan Joe, masih agak kurang normal. Sering keluyuran ke pohon-pohon angker setiap malam untuk sekadar wawancara dengan kuntilanak atau sejenisnya. Orang bilang kami kurang kerjaan, padahal ini kerjaan kami, legal, ada akta notarisnya.
Jujur sih, wawancara dengan kuntilanak itu cuma sampingan. Ya ... iseng-isenglah, gitu. Kami juga cenderung pilih-pilih, nggak mau wawancara sama kunti yang jelek dan bermuka rusak. Pokoknya, kriteria kunti yang jadi tujuan itu harus cantik, malah kalau bisa yang tiren karena badannya masih belum bengu. Nah, Joe paling demen tuh kunti yang cakep begitu. Apalagi yang semok alias seksi and the montok, wuih ... doi bisa sampai lupa anak bininya di rumah. Beda sama gue yang masih demen sama manusia. Kecuali kalo kepepet, baru deh gue ambil paku buat ditancepin ke ubun-ubun itu kunti semok.
Aih, udah ah udah. Kenapa gue malah curhat, ya? Kalau curhat terus, kapan dimulainya dong ini cerita?
***
Hari sibuk dimulai lagi. Pagi pukul tujuh teng, gue udah duduk di ruangan kantor sambil menatap jam dinding. Gue masih menunggu Joe yang datangnya selalu telat. Cukup maklum sih, gue pikir pasti dia ganti popok anaknya dulu di rumah, masak air, kukus nasi, terus mandiin bini. Nah, mandiin bini ini selalu jadi kalimat yang bikin gue merasa iri, tapi ... ya sudahlah.
"Kopi, To." Fatwa mengagetkan lamunan. OB yang kurang ajar ini datang membawa sesajen khusus gue seperti biasa.
Lihat aja kelakuannya, mentang-mentang teman sejak SD, sikap dia ke gue sebagai bos jadi nggak ada sopan-santunnya sama sekali. Seenggaknya panggil pak, kang, mas, atau beb gitu supaya lebih formal. Ya, tapi karena gue baik hati, biarlah dia panggil apa aja.
"Kopi apaan, Wa?" Ditanya balik, si Fatwa malah melotot sewot sambil menaruh minuman berkafein itu dengan kasar di meja kerja gue.
"Wa-wa-wa-wa! Lu kira gue uwak lu? Mentang-mentang bos bukan berarti lu bisa sebut gue seenaknya, ya!" Fatwa ngomel. Setiap hari, dia memang gagal paham terus sama siapa pun lawan bicaranya. Makanya gue malas jawab lagi. Soalnya kalau dijawab, urusan bisa panjang kayak kelabang.
Nama kantor tempat gue dan Joe kerja diambil dari nama geng yang dulu, yaitu Kantor Detektif Hantu. Jasa yang kami tawarkan pun sesuai permintaan klien, asalkan masih menyangkut dunia perhantuan (sedikit iklan boleh, dong). Kami menerima jasa usir hantu, memecahkan kasus mati penasaran, mengidentifikasi lokasi hantu gentayangan, atau sekadar jadi satpam agar klien nggak diganggu lelembut pun akan tetap kami laksanakan dengan penuh tanggung jawab. Gue dan Joe nggak neko-neko, apa pun tugasnya, di mana pun lokasinya, dan selagi ada umur panjang, pasti akan segera kami jalankan.
Tiba-tiba seseorang datang dan langsung masuk tanpa ketuk pintu. Gue kaget, tapi ternyata itu si Joe.
"Buset! Ke mana aja lu? Tumben kesiangan, biasanya kesorean?"
Joe nggak jawab. Dia murung, mukanya yang item lecek kelihatan tambah ancur.
"Budek, ya? Lu kenapa?" Gue sedikit khawatir, takutnya kejadian buruk bulan lalu terulang lagi di rumahnya. Kejadian ketika mesin pompa airnya mati, hingga menyebabkan dia nggak mandi selama seminggu. Akibatnya, kantor berasa kayak tempat budidaya bunga raflesia arnoldi.
"Gue bingung, To," jawabnya. "Lu inget kan, klien yang kemaren telepon ke kantor kita?"
"Iya, gue inget. Emang kenapa? Dia ngasih kabar apa lagi ke lu?"
"Dia udah setuju masalah biaya. Tapi ... kayaknya tugas kita kali ini bakalan berat deh." Joe semakin tampak galau. Dia menjatuhkan pantatnya ke sofa tamu, seperti lesu, bingung, dan mirip lelaki yang habis kena vonis impotensi.
"Berat gimana maksud lu?"
"Sebelom gue jawab, gue mau balik tanya ke lu. Mayat hidup itu termasuk hantu atau bukan, To?"
Mendengar pertanyaan balik dari Joe, gue ikut bingung. Bahkan naik tingkat ke fase keder.
"Sebentar, gue mikir dulu."