“Namaku Dika, cukup Dika tanpa ada nama panjang, aku suka makan kerang, warna kesukaanku biru, aku suka mengumpulkan beberapa barang yang mungkin terdengar aneh, aku suka mengumpulkan barang-barang yang sudah tertinggal oleh zaman”
Itu tadi adalah cara perkenalanku ketika aku naik ke kelas delapan, atau bisa dibilang kelas dua SMP.
Saat itu aku merasa bahwa aku tidak akan memiliki teman karena aku punya hobi yang aneh, namun siapa sangka aku justru mendapat banyak pujian, walaupun ada beberapa pujian yang terdengar seperti menyindir.
Aku hanya mendapat dua orang teman yang menurutku sudah cukup, mereka adalah Aldi dan Fandi. Sedikit tentang Aldi dan Fandi, mereka adalah dua karakter yang berbeda, Aldi selalu ingin menjadi yang pertama, sementara Fandi tidak ingin menjadi pertama karena sangat merepotkan, Fandi bukan anak yang malas, justru dia sama cepatnya dengan Aldi ketika menyelesaikan tugas, hanya saja Fandi selalu menunda untuk mengumpulkan tugasnya, karena dia tidak mau menjadi pertama, dengan prinsip Fandi yaitu, jika menjadi pertama maka akan menjadi contoh buruk.
Baginya, jika menjadi yang pertama, maka ia akan menjadi contoh entah itu contoh baik maupun contoh buruk. Jika yang pertama mengalami kesalahan, maka yang kedua hingga seterusnya akan belajar dari kesalahan yang pertama. Hingga menyebabkan nilai yang pertama akan jauh lebih rendah dari pada nilai yang kedua, hingga seterusnya.
Berbeda dengan Aldi yang selalu ingin menjadi yang pertama, sama seperti Fandi, Aldi juga pintar namun satu hal kelemahannya adalah kecerobohan atas keinginannya untuk menjadi pertama.
Fandi juga memiliki ketelitian dan berhati-hati, dengan sifat Fandi yang teliti, ditambah sifat Aldi yang cepat dalam segala hal, sebenarnya bisa menjadikan mereka partner yang baik dan mungkin tidak terkalahkan, ditambah kelebihan dan kekurangan mereka yang ternyata saling melengkapi juga menjadi alasan mengapa aku bisa berkata demikian.
Tapi pikiranku tentang mereka yang bisa menjadi partner tak terkalahkan hancur ketika tahu bahwa mereka sama-sama egois.
Dan di sinilah peranku sebagai penengah keegoisan mereka dan juga sebagai jembatan penghubung untuk kelebihan dan kekurangan yang mereka miliki.
***
“Hai jangan melamun” kata seseorang dari kejauhan, membuyarkan lamunanku.
Saat itu aku sedang berada di kantin sekolah, dan seperti biasa, pagi-pagi begini pasti sangat jarang ada murid yang berkeliaran di kantin. Terkadang ada yang bermain bola di lapangan, ada juga yang bercengkerama di depan kelas mereka masing-masing, ada yang belajar untuk mempersiapkan pelajaran pada hari itu, atau bahkan ada yang baru mengerjakan pekerjaan rumah di kelas mereka. Ayahku pernah berkata bahwa kejadian seperti ini memang lazim, bahkan dari zaman ayahku sekolah pun hal ini tetap dilakukan oleh para murid.
Aku sendiri berada di kantin untuk memesan satu porsi bubur ayam karena sebelumnya aku belum sarapan, menurutku bubur ayam adalah pilihan cermat karena selain murah, bubur ayam juga tidak merepotkan, berbeda dengan makanan dengan kuah lainnya yang terkadang kuahnya menyiprat kemana-mana. Jadi aku memilih bubur ayam, walau mie ayam juga oke.
Aku kembali berfokus pada seseorang yang memanggilku barusan, aku melihat dua sosok yang sangat aku kenal. Ya, mereka adalah Fandi dan Aldi.
Fandi dan Aldi menghampiriku, dan duduk tepat di depanku, dengan meja yang sama.
“Tadi kenapa kamu melamun?” tanya Aldi.
Aku memang sempat melamun karena aku memikirkan beberapa hal. Pertama aku memikirkan Fandi dan Aldi yang secara tumben datang terlambat.
Kedua aku juga memikirkan ujian minggu lalu. Minggu lalu memang ujian kenaikan kelas, jika aku berhasil maka aku dengan resmi menjadi anak kelas sembilan.
Aku juga memikirkan Aldi dan Fandi, apakah mereka harus menyelesaikan tugas-tugas sebelumnya yang belum selesai seperti kebanyakan siswa atau tidak.
Aku juga sempat memikirkan apakah liburan kenaikan nanti akan ada tugas dari guru seperti liburan kenaikan kelas tahun lalu.
“Aku hanya memikirkan beberapa hal saja, kalian sendiri kenapa harus datang terlambat? Tidak seperti biasanya” jawabku kepada Aldi dan Fandi.
“Ya seperti biasa, si ceroboh yang selalu ingin menjadi nomor satu ini melakukan kecerobohan lagi” jawab Fandi sambil melirik Aldi dengan senyum Fandi yang meledek.
“Kecerobohan?” tanyaku lagi.
“Tidak, kali ini aku tidak melakukan kesalahan, tidak seperti biasanya!” jawab Aldi menjelaskan.
“Lalu?” tanyaku sambil menyambar bubur ayamku yang baru datang.
“Aku hanya menemani Fandi untuk mengumpulkan tugas, kamu tahu” Kata Aldi menjelaskan. “Aku memesan satu porsi bubur ayam”
“Jadi, apakah kamu menjadi yang terakhir mengumpulkan tugas?” tanyaku kepada Fandi dengan mulut penuh bubur ayam.
“Selesaikan dulu kunyahanmu sebelum berbicara dan jangan mengira aku jadi yang terakhir, awalnya aku juga berpikir begitu tapi ternyata tidak, aku menjadi orang kelima dari siswa yang seharusnya mengumpulkan” kata Fandi berusaha menjelaskan sambil memberi nasihat kepada Dika.
“Oke” jawabku singkat.
“Kenapa?” tanya Fandi.
“Ada sedikit kemajuan” aku tersenyum.
“Kamu tidak memesan makan?” tanya Aldi.
“Tidak, aku cukup dengan sarapan pagiku” jawab Fandi
“Oke” tanggap Aldi. “jadi kamu memikirkan hal apa saja?”
Aldi kembali menanyaiku.