Jurnal Perjalanan Siswa

Alif Rizaldy Azra
Chapter #2

Chapter 2

  “Tugasnya adalah, meneliti, mengobservasi, dan menulis laporan tentang salah satu budaya di negeri kita ini” jawab Mr. Abdul.

  Aku kaget dengan tugas yang diberikan, namun belum sempat aku memberi respons, Mr. Abdul kembali mengeluarkan suara.

  “Kalian bebas membuat kelompok dengan anggota yang terdiri dari lima orang, kalian juga bebas memilih budaya apa yang ingin kalian observasi” kata Mr. Abdul.

  “Menurut saya, pengumuman ini sudah cukup jelas jadi, saya akhiri pengumuman ini, sekian” kata Mr. Abdul mengakhiri pengumuman.

  “Rumor itu benar” kata Fandi.

  “Tapi kenapa tugasnya mengobservasi?” tanyaku.

  “Kemungkinannya adalah karena dia ini pindahan dari Jepang” jawab Aldi.

  “Masuk akal, mengingat betapa keras usaha Jepang untuk mempertahankan budaya mereka, jadi Mr. Abdul juga ingin kita melakukan hal yang sama” jawabku.

  Aku sempat berpikir bahwa aku, Aldi dan Fandi pasti tidak akan ada di kelompok yang sama.

  Walaupun kita bebas memilih anggota kelompok, tapi pasti ada beberapa murid golongan pintar yang mengincar Aldi atau juga Fandi.

  Alasannya sangat sederhana, Aldi ingin cepat beres, membuat Aldi pasti lebih bekerja keras dikelompoknya dan memotivasi anggota lain, sehingga tugas bisa menjadi lebih cepat selesai, dan tidak mengganggu liburan kenaikan kelas tahun ini.

  Lalu alasan mereka, yaitu golongan murid pintar mengincar Fandi juga sangat sederhana, karena Fandi teliti. Hanya itu, lalu ketika tugas sudah selesai dengan ketelitiannya, mereka dapat menyerahkan tugasnya ke Fandi.

  Menyerahkannya tugas yang sudah selesai ke Fandi, karena dengan begitu, Fandi yang akan mengumpulkan tugasnya ketika tenggat waktu sudah menipis. Mereka tidak perlu repot-repot mengumpulkan tugasnya, cukup menyerahkan tugasnya kepada Fandi, maka semuanya beres.

  Lalu ada kemungkinan juga aku akan direkrut ke kelompok lain, dengan alasan karena aku suka mengoleksi barang lama yang berasal dari suku ke suku, mereka akan merekrutku lalu meminjam sementara salah satu koleksiku dan dapat mengumpulkan tugas dengan sekaligus mengumpulkan objek yang ada ditugasnya.

  Aku melirik kepada Aldi dan Fandi. Mereka langsung mengerti, mengangguk dan tersenyum, sebagai tanda perpisahan ini. Kenapa perpisahan? Karena aku, Aldi dan Fandi tidak akan bertemu lagi di sepanjang liburan kenaikan kelas tahun ini.

  Apalah arti perpisahan kali ini? Toh saat kelas sembilan, kami bisa berkumpul.

  Apalah arti perpisahan, pastilah sangat dalam. Dan bagaimana cara sahabat melakukan perpisahan? Mengatakan selamat tinggal? Sayonara? Bye bye? Addio? Adios? Tidak, tidak ada satu pun yang cocok untuk pemberi perpisahan kepada sahabat, tapi tersenyumlah, seorang sahabat pasti akan datang kembali, percayalah.

  “Kalian tidak akan terpisah, kalian sudah satu paket” kata seseorang di belakang dari tempat kami berdiri.

  Seseorang itu rupanya Shina, wakil ketua kelas kami, perempuan dengan rambut dikuncir.

  “Kalian tidak lagi terpisah karena direkrut kelompok lain” kata Shina melanjutkan kata-katanya bahkan sebelum aku sempat berkata-kata.

  “Kenapa bisa begitu?” tanya Fandi.

  “Mudah sekali, kalian bertiga itu layaknya generasi emas yang sering diincar oleh golongan murid pintar karena kelebihan kalian, tapi aku yakin kali ini kalian pasti akan ditinggal, dan tidak akan pernah dibutuhkan oleh kelompok itu lagi” jawab Shina.

  “Kenapa?” tanyaku terbata-bata.

  “Simpel, selain memiliki kelebihan, kalian juga memiliki kekurangan, Aldi yang ingin selalu cepat, tapi nyatanya dia adalah murid ceroboh, Fandi yang teliti dan berhati-hati, justru terkadang menjadi sangat lama. Karena sifatnya itu” jawab Shina kepadaku.

  Kata per kata, kalimat per kalimat barusan yang baru saja dilontarkan oleh Shina pasti bagaikan belati yang menusuk hati mangsanya, yaitu Aldi dan Fandi dengan tepat dan cepat.

  “Lalu kamu, Dika. Kamu hanya menyumbangkan barang-barang yang kamu punya, wawasanmu memang tergolong luas, tapi wawasan yang kamu punya hanya wawasan seputar barang yang kamu punya, jika ditanyai tentang barang lain yang tidak kamu miliki, pasti kamu bingung untuk menjawabnya” jawab Shina.

  Kali ini, kata dan kalimat Shina menjadi beribu-ribu pisau tajam yang menusuk hati. Sakit dan pasti lukanya dalam.

  “Tolong jangan berkata begitu!” tegas Aldi membela.

  “Ya, meski begitu dia adalah sahabat kami!” kata Fandi juga ikut membela. Jiwa persahabatan mereka keluar bergelora.

  Shina tersenyum.

  “Apa yang kamu mau?” tanyaku kepada Shina.

  “Ketua kelas ingin merekrut kalian” jawab Shina singkat.

  “Tapi tadi kamu bilang kami tidak berguna seperti yang dipikirkan” kataku.

  “Ya, itu memang benar, makanya aku bilang kalian itu sepaket” kata Shina.

  “Kita bisa menjadi tim yang tak terkalahkan” kata seseorang. Suaranya perempuan, aku bisa menebak ini suara siapa.

  Benar saja, itu suara ketua kelas kami. Erina. Perempuan dengan tinggi yang sama seperti kami semua, dengan rambut panjang terurai dan kacamata kotaknya.

  “Bagaimana kamu bisa menyimpulkan begitu?” tanyaku.

  “Shina sudah mengatakannya, kalian sepaket, Aldi yang cepat tapi ceroboh, Fandi yang teliti tapi justru termakan oleh ketelitiannya sendiri, kamu yang hanya mengerti tentang barang yang kamu miliki” kata Erina.

  “Lalu bagaimana kita bisa menjadi tim yang tak terkalahkan?” tanya Aldi.

   “Kelebihan kalian bertiga sangat dibutuhkan dalam tugas kenaikan kelas kali ini, tapi kecerobohan Aldi dan Fandi juga sangat mengganggu, tapi di sini juga ada Dika, dia bisa menjadi penyelesai masalah kecerobohan kalian, bahkan saat kalian saling mempertahankan ego kalian pun, Dika lah yang kembali menyatukan kalian, makanya Shina bilang kalian sepaket” kata Erina

  Kami terdiam, itu memang benar.

Lihat selengkapnya